Meluruskan Peran Politik Perempuan

Penulis: Tawati (Muslimah Revowriter Majalengka dan Member Writing Class With Hass)

Dalam upaya memajukan daerah melalui visi Indramayu religius, maju, mandiri dan sejahtera (Remaja) berharap seluruh lapisan masyarakat dapat berkarya dan berkarier melalui keterampilan yang dimilikinya. Karena itu, Visi Remaja perlu didukung bersama.

“Saya yakin, masyarakat Indramayu mampu memberikan kontribusi positif dalam upaya ikut memajukan daerah,” ujar Sekretaris Dinas Ketahanan Pangan (DKP) Kabupaten Indramayu, Hj Tati Rahmawati.

Masyarakat Kabupaten Indramayu khususnya kaum hawa harus bersyukur dan bangga karena kesetaraan gender telah membawa kaum perempuan mampu menduduki jabatan strategis setara dengan kaum pria. Secara umum, keberhasilan kaum perempuan saat ini telah bisa dibuktikan dengan banyaknya kaum perempuan Indramayu yang menempati jabatan sebagai anggota DPRD maupun jabatan-jabatan strategis lainnya. (Dikutip Kabar Cirebon, 23/6/2020)

Dalam catatan sejarah, di tengah ide liberalisme, muncul sebuah gerakan feminisme. Gerakan yang lahir dari perasaan terjajah dan keinginan untuk membuktikan pada dunia, bahwa perempuan tak selamanya ada di bawah. Perempuan bukan barang yang hanya dipakai jika dibutuhkan, tapi juga mampu berperan sebagaimana lelaki dalam dunia kepemimpinan.

Memang, saat ini politik yang ditekuni para perempuan hanya berkutat pada kekuasaan. Hal ini tak lepas dari pemaknaan politik zaman sekarang. Di mana politik hanya dimaknai pergerakan perebutan kekuasaan atau menjadi pemimpin sebuah daerah/negara. Demi eksistensinya, perempuan mulai terjun ke ranah tersebut. Dengan dalih kesetaraan gender, perempuan tak lagi harus berada di rumah, melainkan ia harus bisa menjadi pemimpin yang dibutuhkan rakyat.

Baca Juga:  Komunitas Rumah Bambu Banjar Ditengok Menteri LHK

Hingga akhirnya perjuangan perempuan “diakui” dunia ketika mendapatkan jatah tersendiri dalam dunia legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Di mana dalam legislatif, perempuan mendapat jatah 30% kursi untuk diduduki. Kesempatan pun terbuka lebar jika ada perempuan yang ingin menjadi kepala daerah maupun kepala negara.

Demikianlah, hingga saat ini, perjuangan para perempuan itu tak kunjung reda. Mereka terus berjuang demi mendapatkan pengakuan dunia. Seharusnya politik tak hanya dimaknai sekadar kekuasaan semata. Itu merupakan pandangan yang sempit. Politik secara luas adalah mengurusi urusan umat. Artinya, segala sesuatu yang berbicara tentang cara memenuhi urusan umat disebut sebagai politik. Sehingga perempuan berpolitik tak hanya identik dengan menjadi penguasa.

Islam memuliakan perempuan. Memberikan porsi antara laki-laki dan perempuan sesuai fitrahnya. Secara fitrah, laki-laki memang telah diciptakan sebagai pemimpin. Dan secara fitrah perempuan adalah pendidik generasi dan manajer rumah tangga. Atas dorongan keimananlah, baik laki-laki dan perempuan akan menerima satu sama lain. Bahkan ketika Allah memutuskan perempuan tak boleh menjadi penguasa yang bertugas mengurusi urusan umat.

Baca Juga:  Kenali Lebih Dalam Tentang Riba di Indonesia

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang urusannya diserahkan kepada wanita.” (HR al-Bukhari).

Syekh Taqiyuddin dalam buku Ajhizah, perempuan tetap boleh menduduki posisi-posisi menjadi pemimpin, asalkan bukan posisi yang berhubungan dengan mengurusi umat seperti jabatan Khalifah (pemimpin negara), Mu’awin (pembantu khalifah), Wali (gubernur), Qadhi Qudhat (pemimpin para qadhi/hakim), atau Qadhi Mazhalim.

Selain jabatan di atas kaum perempuan dibolehkan berpartisipasi. Seperti, kepala Baitulmal, anggota Majelis Wilayah dan Majelis Umat, menjadi qadhi khushumat (hakim yang menyelesaikan perselisihan antar rakyat), ataupun qadhi hisbah (hakim yang langsung menyelesaikan pengurangan atas hak-hak rakyat).

Seluruh jabatan selain urusan pemerintahan boleh dijabat oleh perempuan. Termasuk kepala departemen kesehatan, departemen pendidikan, departemen perindustrian, departemen perdagangan, rektor perguruan tinggi, kepala sekolah, kepala rumah sakit, direktur perusahaan, dan lain-lain.

Terjunnya perempuan dalam ranah politik harusnya bukan sekadar status, bukan hanya ingin diakui publik. Terjunnya perempuan dalam ranah politik semata-mata harus karena dorongan keimanan.

Allah SWT berfirman, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (TQS Ali Imran: 104).

Surah tersebut menegaskan bahwa perempuan juga berkewajiban untuk beramar makruf nahi mungkar. Dalam perannya ini perempuan dapat aktif menjadi anggota suatu partai politik yang berlandaskan Islam, yang memiliki visi misi Islam.

Baca Juga:  Pengusaha Panti Pijat Ditertibkan Satpol PP Kabupaten Bogor

Perempuan juga diberikan hak dalam mengoreksi penguasa apabila terdapat kesalahan dalam penerapan aturan. Sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Khalifah Umar Bin Khaththab, di mana ada seorang wanita yang berani mengingatkan Umar saat beliau ingin menentukan jumlah mahar dan Khalifah menerimanya.

Di samping mengoreksi penguasa, perempuan juga berkewajiban menjaga umat dari pemikiran-pemikiran kufur. Sehingga wajib bagi mereka untuk berdakwah, menjaga pemahaman umat dari serangan pemikiran asing, dan menyadarkan umat atas kewajibannya berislam kafah.

Peran politik perempuan yang lain adalah berbaiat terhadap khalifah. Pada Baiat Aqabah II yang dilakukan orang-orang Madinah, di antara mereka ada perempuan yang membaiat Rasulullah. Perempuan juga memiliki hak memilih dan dipilih dalam Majelis Umat, sebuah majelis yang akan menyampaikan aspirasi umat pada penguasa (khalifah).

Maka, di saat kondisi seperti ini, di mana Islam belum dijadikan sebagai tuntunan, sebagai perempuan sadar politik kita wajib terjun dalam wilayah yang kita mampu. Untuk memperjuangkan kepengurusan umat agar sesuai dengan aturan Ilahi, kita perlu bergabung dalam partai politik Islam yang bertugas mengoreksi penguasa. Sekaligus menyadarkan umat pada kewajiban mereka berislam secara kafah.

Wallahu a’lam bishshawab.

Tulisan ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis.