Cukupkah Ganti Menteri Persoalan Bangsa Dapat Teratasi?

Penulis: Nelly, M.Pd (Pemerhati Kebijakan Publik, Pegiat Opini Medsos)

Isu reshuffle kabinet kembali berembus setelah sebelumnya Presiden Joko Widodo menunjukkan sikap ketidak puasan terhadap kinerja sejumlah menteri. Dalam video yang dirilis akun Youtube Sekretariat Presiden pada 28 Juni 2020, menunjukkan saat Sidang Kabinet Paripurna, 18 Juni lalu, Presiden Joko Widodo mengangkat isu terkait pandemi dan ekonomi nasional dengan nada tinggi.

Dalam video tersebut Joko Widodo meminta kepada seluruh kementerian untuk segera melakukan percepatan pembelanjaan guna memulihkan ekonomi nasional. Tak hanya itu, Presiden juga memperingatkan akan melakukan reshuffle menteri hingga membubarkan lembaga.

Menanggapi hal tersebut melalui pemberitaan suara.com, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnain mengatakan bahwa ancaman Presiden Joko Widodo untuk melakukan reshuffle kabinet adalah rencana yang percuma.

Tengku Zul beranggapan bahwa Kabinet Indonesia Maju dalam pemerintahan Joko Widodo periode kedua ini sudah sulit ditolong.

Ia mengibaratkan kabinet tersebut sudah digerogoti kanker parah.

Mau reshuffle atau tidak, kayaknya tetap saja semuanya bakal nyungsep. Soalnya sudah sulit ditolong. Ibarat kanker sudah stadium 4, mau gimana lagi? tulis Tengku Zulkarnain, Senin (29/6/2020).

Persoalan bangsa ini memang rumit dan karut-marut, jangankan pergantian menteri yang dilakukan setiap waktu. Pergantian presiden saja semenjak merdeka tahun 1945 hingga sekarang tahun 2020 sudah tercatat 7 orang pemimpin yang memimpin negeri ternyata tidak mampu juga menyelesaikan persoalan bangsa ini.

Banyaknya problematika yang terjadi saat ini mulai dari aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, sosial, kemiskinan, pengangguran. Kompleknya masalah ini harusnya menjadikan bangsa ini kembali berfikir ulang dan merenung apa sebenarnya yang menjadi akar masalah sehingga keterpurukan menimpa negeri ini.

Apakah faktor penyebabnya adalah pemimpinnya, menterinya, kepala daerahnya? ataukah ada faktor lain yang mengakibatkan bangsa yang Allah karuniakan SDA melimpah ruah ini seakan tak bisa bangkit dari kondisi yang sudah sangat mengkhawatirkan ini.

Baca Juga:  Menuju Kampanye Tertib, Indah, Berestetika

Jika ditelaah secara mendalam dan menyeluruh kegagalan negeri ini dalam mengelola negara tidak lepas dari buah penerapan sebuah sistem yang diemban oleh negara.

Tidak adanya solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah dengan baik, karena keliru dalam menganut sebuah sistem ideologi yang diterapkan bangsa ini. Kiblat kepada barat menjadikan negeri ini mengambil dan mengadopsi ideologi kapitalisme yang merupakan ideologi yang tegak atas dasar pemisahan agama dari kehidupan, yang kerap disebut dengan istilah sekulerisme.

Ide sekuler ini mengakui adanya agama, tetapi menolak campur tangan agama dalam menata kehidupan, sehingga mereka berpendapat bahwa manusia berhak membuat peraturannya sendiri tanpa melibatkan peran sang pencipta.

Sejak lama negeri tercinta yang mayoritas muslim ini menganut sistem kapitalisme. Sebuah sistem yang membuat rakyat menderita dan sengsara. Sistem kapitalisme adalah sistem yang menindas yang lemah dan menyejahterakan para pemilik modal.

Makanya di negeri ini sangat terlihat kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Hal inipun dipertegas oleh Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, yang menyebut Indonesia merupakan negara yang telah menganut sistem Kapitalisme yang liberal. Namun, Indonesia, malu untuk mengakuinya (CNN Indonesia, 14/8/19).

Sistem negara Kapitalisme liberalis ini, menurut Surya sangat jelas terlihat saat ada kompetisi politik dalam negara ini. Saat berkompetisi, hal pertama yang ditanyakan kata Surya adalah istilah wani piro yang berarti soal banyaknya uang yang dimiliki. Yang jelas saat ini yang berkuasa bukan lagi pengetahuan tetapi uang (CNN Indonesia, 14/8/19).

Dengan asas negara ini memunculkan masalah baru, tampilnnya para pemimpin hasil dari penerapan sistem kapitalis sekuler yang mengambil sistem politik demokrasi. Sehingga money is power bukan hal yang asing di negeri ini. Para pemilik modal dapat membeli jabatan, pun juga dapat berkuasa.

Baca Juga:  Bantuan Insentif Untuk Ustad, Ini Kata Wapres Ma'ruf Amin

Yang punya uang berlomba ingin jadi pejabat demi meraup keuntungan sebesar-besarnya sebab itulah standar dalam mencapai kebahagiaan. Sekularisme inilah yang menyebabkan masyarakat sangat jauh dari ajaran agamanya, sehingga wajar jika halal-haram bukan menjadi standar para pejabat dalam menjalankan amanah.

Maka jangan harap pengurusan rakyat didapat dalam sistem kapitalis-sekuler demokrasi. Maraknya kasus korupsi, pergaulan bebas, LGBT, kriminalitas, penjualan kekayaan alam, penjualan aset negara dan lain sebagainya sebagai dampak penerapan sistem rusak di negeri ini.

Hingga pemimpin yang tidak amanah, kurang bertanggungjawab, dan abai terhadap derita rakyat yang dirasakan saat ini.

Hal ini sangat nampak tatakala bangsa ini dilanda wabah corona yang hampir meluluhlantakkan segala lini kehidupan bangsa. Berbagai kebijakan yang plin-plan, selalu berubah-ubah, yang diterapkan para pemimpin.

Lagi-lagi rakyat yang terkena imbasnya dan menderita akibat pemimpin yang tidak sepenuhnya mengurusi rakyat.

Dari sini terlihat bahwa akar masalah negeri ini adalah bukan saja terletak pada pemimpinnya namun juga pada sistemnya. Jika sistem yang diterapkan adalah benar dan terbukti mampu memberi solusi, maka akan lahir para pemimpin yang handal dan kredibel.

Tentu tidak akan didapatkan sosok Umar, Abu Bakar, Ustman, Ali, Umar bin Abdul Aziz, Muhammad Alfatih, Sultan Abdul Hamid dan pemimpin Islam tersohor lainya dalam sistem kapitalis sekuler.

Maka tidak ada jalan lain jika menginginkan negeri ini sejahtera, adil dan makmur serta memiliki para pemimpin yang shalih, merdeka, kafabel, amanah, bertanggungjawab selain kembali pada sistem Islam yang sempurna.

Sebab sistem Islam hadir sebagai rahmat dan menyelesaikan seluruh problematika kehidupan termasuk dalam tata kelola negara.

Sebab ideologi Islam menggangap bahwa satu-satunya yang berhak dalam menetapkan aturan adalah sang Pencipta.

Ideologi ini bersumber dari wahyu Allah SWT. yang disampaikan melalui nabi Muhammad shallallahu‘alaihi wa sallam. Islam adalah agama yang paripurna, mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk di dalamnya masalah kepemimpinan negara.

Baca Juga:  Anies Baswedan Heran Bansos Disalurkan di Pinggir Jalan, Sindir Presiden Jokowi?

Dengan demikian kedudukannya lebih kuat karena yang menetapkannya adalah Sang Pencipta manusia. Sistem kekhilafahan memiliki perbedaan diametral dengan sistem demokrasi yang diterapkan dunia saat ini.

Pemimpin dalam demokrasi hanya berfungsi sebagai lembaga eksekutif yang menjalankan amanat rakyat. Dalam praktiknya, yang disebut “rakyat” tersebut hanyalah sebatas pada para pemilik modal dan kekuatan.

Tak heran jika kemudian pemimpin hanya berfungsi sebagai fasilitator, yakni memberikan fasilitas bagi orang-orang memiliki modal untuk menguasai negeri ini. Sementara dalam Islam, pemimpin memiliki dua fungsi utama, sebagai pengurus umat dan penjaga bagi umat.

Kedua fungsi ini dijalankan oleh para pemimpin Islam hingga lebih 13 abad lamanya masa kegemilangan Islam. Pasang surut kekhilafahan secara sunnatullah memang terjadi, tapi kedua fungsi ini ketika dijalankan sesuai apa yang digariskan syara’, terbukti membawa kesejahteraan dan kejayaan umat Islam.

Maka sudah saatnya negeri ini berbenah, untuk meninggalkan sistem rusak yang hanya akan menimbulkan segala malapetaka kehancuran bangsa.

Sudah terlalu lama negeri ini merdeka namun tak kunjung membuat bangsa merdeka dari cengkraman kapitalis yang merusak. Kini waktunya telah tiba untuk beralih pada sistem yang akan membawa kemajuan dan keberkahan.

Sistem Islam yang mampu memberi solusi dalam mensejahterakan manusia baik muslim maupun nonmuslim. Inilah waktunya untuk kembali pada aturan sistem yang akan menjadikan bangsa ini menjadi mercusuar dunia yaitu dengan mengambil dan menerapkan Islam kaaffah dalam bernegara.

Inilah pesan penting berikutnya bagi Indonesia. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu.” (TQS Al Anfaal: 24).

Allahu A’lam.

Tulisan ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis.