Sistem PPJ Tuai Polemik, Ini Kata Korwil III PP GMKI

JABARNEWS | JAKARTA – Pandemi Covid-19 telah masuk ke Indonesia sejak bulan maret tahun 2020. Sampai hari ini belum ada tanda-tanda bahwa pandemi ini segera berakhir. Kondisi ini mengakibatkan proses kegiatan belajar dan mengajar masih tetap dilakukan dari rumah.

Selama masa pandemi, proses pembelajaran dilakukan secara daring dengan bantuan media teknologi yang lebih spesifik disebut dengan sistem pendidikan jarak jauh (PJJ). Sistem pendidikan jarak jauh menuai berbagai polemik dikalangan masyarakat apalagi penerapan sistem PJJ akan tetap dipertahankan pasca pandemi.

Kordinator Wilayah III (DKI Jakarta-Jawabarat-Banten) Pengurus Pusat GMKI David Robby Marpaung menjelaskan, sistem pendidikan PJJ ini sudah digulirkan sejak lama dan dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 109 tahun 2013 tentang penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh pada pendidikan tinggi.

“Sistem pendidikan PJJ bukan program baru yang muncul dari Mendikbud hari ini yaitu mas Nadiem Makarim,” kata David dalam diskusi webinar GMKI Wilayah III yang bertajuk “Rekonstruksi Problematika Kampus di Masa Pandemi”, belum lama ini.

Baca Juga:  Nasib Tenaga Honorer usai Dihapus Pemerintah, Begini Penjelasan Kemenpan-RB

David menjelaskan PPJ ramai diperbincangkan publik akibat transisi pendidikan tatap muka dengan sistem pendidikan jarak jauh masih perlu waktu dalam beradaptasi ataupun penyesuaian. Selain itu, PJJ mengalami beberapa kendala dalam aspek penguasaan teknologi serta masalah jaringan internet yang belum merata dibeberapa daerah.

David menyoroti pernyataan Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud. Menurut survey yang dilakukan Dirjen Dikti didapati sebanyak 70 persen mahasiswa dan dosen menyatakan pembelajaran daring dinilai baik bahkan sangat baik.

David menilai bahwa survey ini hanya klaim sepihak dari Dirjen Dikti, mengingat banyaknya protes mahasiswa terhadap instansi Kementrian pendidikan dan kebudayaan beberapa hari terakhir ini.

“Akhir-akhir inikan banyak protes baik secara langsung diruang publik ataupun dimedia sosial, aksi tersebut tidak hanya menuntut pembiayaan kuliah dimasa pandemi, namun kurang idealnya sistem pendidikan secara daring,” ucap David.

Menurut data dari Kementrian Riset dan Teknologi tahun 2019, jumlah mahasiswa di Indonesia mencapai 7,3 juta orang yang terdiri dari 2,9 juta dari Perguruan Tinggi Negeri dan 4,4 juta berasal dari perguruan tinggi swasta.

Baca Juga:  Debut Ivar Jenner dan Justin Hubner Dipuji Iwan Bule, Siap Bela Indonesia di Piala Dunia U-20?

“Saya rasa pihak Dirjen Dikti perlu membuka data survey yang dilakukan kepublik, agar kesannya tidak hanya klaim sepihak. Metode apa yang digunakan serta kampus mana saja yang disurvey,” katanya.

David mengatakan survey yang dilakukan oleh lembaga tersebut sangat bertolakbelakang dengan keadaan realitas pendidikan di Indonesia pada masa pandemi hari ini. Sehingga ada beberapa hal yang GMKI soroti sebagai evaluasi untuk pemerintah dibawah Kemendikud.

Pemanfaatan teknologi berguna untuk mempermudah askes layanan pendidikan, namun pemerintah perlu memperhatikan kesiapan infrastruktur setiap daerah khususnya di daerah-daerah 3T yang masih jauh dari akses internet. Oleh karena itu variabel pertama yang harus dipenuhi dalam sistem pendidikan jarak jauh tidak lepas dari dukungan ketersediaan infrastruktur jaringan internet yang memadai. Jaringan internet yang kurang memadai dapat mempengaruhi keberlanjutan pembelajaran secara online.

“Pemerintah harus memastikan kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusianya dalam penguasaan dan penggunan teknologi, sehingga tidak ada gap yang semakin memperbesar ketimpangan dalam dunia pendidikan Indonesia di masa mendatang,” jelas David.

Baca Juga:  Desas-desus Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Nasibnya Ada di Tangan Exco PSSI?

Selain itu David juga menyoroti kecepatan internet Indonesia masih jauh apabila dibandingkan dengan negara lain didunia. Berdasarkan data dari ookla sebuah perusahaan speedtest kecepatan internet gobal menunjukkan bahwa kecepatan internet seluler Indonesia berada pada peringkat 43 dari 45 negara sedangkan kecepatan internet kabel berada pada posisi 42 negara dari 46 negara.

Lebih lanjut David mengungkapkan bahwa sistem pendidikan secara daring sejauh ini belum bisa dikatakan ideal. Khususnya bagi mahasiswa dengan basis program studi yang menuntut kompetensi teknikal skill perlu proses pembelajaran secara luring seperti pembelajaran di laboratorium.

Akibat pandemi proses pembelajaran secara praktikum akan terdampak bagi mahasiwa dengan program studi sains dan teknologi (saintek). David kemudian menyampaikan harapannya agar kurikulum dan capaian pembelajaran dengan sistem pendidikan secara daring tidak kalah jauh dengan sistem pendidikan secara luring.

“Pemerintah harus memastikan agar kampus memberikan kurikulum dan capaian pembelajaran yang setara baik secara kualitatif dan kuantittif,” harapnya. (Red)