Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Dapat Dukungan Pakar Hukum UI

JABARNEWS | JAKARTA – Jaksa Agung ST. Burhanuddin telah menerbitkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan keadilan restoratif atau penyelesaian tindak pidana di luar pengadilan. Dalam perkara perdata, keadilan restoratif dikenal dengan istilah mediasi.

Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Indriyanto Seno Adji menyatakan Peraturan Kejaksaan yang diterbitkan itu patut diapresiasi. Itu sebagai sikap Kejaksaan yang menjadi representasi keadilan bagi masyarakat kecil dan sakaligus menjawab berbagai problematika lain seperti penumpukan beban perkara di pengadilan dan dilematis over capacity di pengadilan.

“Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 tahun 2020 harus diapresiasi sebagai sikap Kejaksaan yang menjadi representasi keadilan bagi masyarakat, khususnya problematika tingginya secara kuantitatif kasus ke pengadilan,” ungkap Indriyanto dilansir dari laman Jawapos, Rabu (19/8/2020).

Indriyanto berpandangan, peraturan tersebut sesuai dengan KUHAP yang lebih mengedepankan pendekatan penegakan keadilan restoratif dan penyelesaian perkara di luar pengadilan pidana sehingga tidak menunggu sampai ke meja hijau.

Baca Juga:  Ribuan Personel Polisi Diterjunkan Amankan Tempat Autopsi Ulang Brigadir J

“Peraturan Kejaksaan ini memang sesuai konsep KUHAP kedepan, yaitu adanya pergeseran paradigma kearah pendekatan keadilan restoratif dan adanya Afdoening Buiten Proces, menyelesaikan perkara diluar pengadilan, sehingga Jaksa dapat menghentikan perkara demi kepentingan hukum, wakaupun ada persyaratan jenis dan ancaman delik,” urainya.

Indriyato yang juga mantan eks Komisioner KPK itu berpendapat dengan kebijakan peraturan itu juga bisa penyelesaian masalah secara seimbang antara pelaku dan korban yang terlibat suatu perkara yang berujung pada perdamaian satu sama lain.

“Peraturan Kejaksaan ini memberikan dan mempertimbangkan basis equal and balances antara Pelaku, Korban, Masyarakat dan Negara, sehingga keadilan restoratif yang menjadi kebijakan Kejaksaan,” ungkapnya.

Sebelumnya, Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Umum, Sunarta menyatakan selama berpuluh tahun kejaksaan mengalami dilema dalam proses penegakkan hukum dan sistem peradilan di Indonesia.

Mulai dari perkara kecil yang harus dibawa ke meja hijau, perkara dengan kerugian kecil hingga keinginan korban yang ingin berdamai namun terbelenggu peraturan berlaku.

Baca Juga:  Longsor Ancam Pemukiman Warga Sukasari Purwakarta

“Berpuluh-puluh tahun kita harus membawa perkara kecil ke pengadilan. Perkara yang sebenarnya tak menimbulkan kerugian besar,” kata Sunarta, (6/8).

Lanjut Sunarta, dengan adanya aturan yang terdiri atas 17 pasal ini, jaksa penuntut umum (JPU) berhak menghentikan penuntutan terhadap terdakwa dalam kasus-kasus tertentu. Dengan catatan, antara terdakwa dan korban menemui kesepakatan berdamai.

Aturan ini menjadi penting, khususnya untuk kasus-kasus yang menjerat masyarakat kecil. Sunarta mencontohkan kasus Nenek Minah yang diadili hanya karena mencuri tiga biji kakao. Atau Kakek Samirin di Simalungun yang harus merasakan dinginnya sel penjara hanya karena mencuri getah karet milik PT Bridgestone seberat 1,9 kilogram atau setara Rp17 ribu.

“Hingga perkara diputus, terlalu banyak kerugian dalam mengadili perkara-perkara kecil tersebut. Mulai dari penumpukan beban perkara, penjara menjadi penuh, hingga nasib tak tentu anak-anak yang ditinggal terdakwa,” bebernya.

Baca Juga:  LKNU - Pemkab Kerja Sama Berantas TBC

Menurutnya, ketidakefisienan penegakan hukum itu justru menyengsarakan masyarakat. Untuk itulah perlu terobosan hukum.

Pasal 3 Peraturan Kejaksaan RI No 15 Tahun 2020 menyatakan penuntut umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum. Yang dimaksud kepentingan umum itu meliputi terdakwa meninggal, kedaluwarsanya penuntutan pidana, dan telah ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap terhadap seseorang atau perkara yang sama.

Sementara Pasal 4 menyatakan penghentian penuntutan dilakukan atas kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi. Lalu, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, respon dan keharmonisan masyarakat, serta kesusilaan dan ketertiban umum.

Adapun syarat penutupan tindak pidana dalam aturan ini meliputi: 1. Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, 2. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari lima tahun, dan 3. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian tak lebih dari Rp 2.5 juta. (Red)