Kisah Sarjana Pemulung Bawa Pulang Penghargaan Kalpataru 2020

JABARNEWS I BANDUNG BARAT – Yayasan Bening Saguling Foundation, yang berlokasi di Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat, berhasil meraih penghargaan Kalpataru tahun 2020.

Yayasan Bening Saguling Foundation mendapat Kalpataru dalam Kategori Penyelamat Lingkungan, Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI pada 24 Juli 2020.

Yayasan tersebut didirikan oleh Indra Darmawan (48), sarjana Matematika dari Universitas Padjadjaran yang selama 19 tahun ini mendedikasikan hidupnya sebagai pemulung.

Dia memulung sampah plastik dan eceng gondok di Sungai Citarum dan memberdayakan masyarakat sekitar untuk melakukan pengelolaan sampah dan eceng gondok, hingga memiliki nilai jual.

“Saya berterima kasih pada semua pihak atas raihan penghargaan Kalpataru 2020. Ini menjadi pemicu kami untuk terus berinovasi menciptakan keseimbangan lingkungan,” kata Indra, Selasa (15/9/2020).

Baca Juga:  KPAI Tanggapi Soal Video Penangkapan Diduga Artis Nikita Mirzani di Depan Bocah

Pria yang dijuluki Sarjana Pemulung ini mengawali sejarah Yayasan Bening Saguling Foundation saat melihat warga di sekitar bantaran Sungai Citarum hidup dalam kemiskinan.

Di sisi lain, dia pun menyayangkan Sungai Citarum yang dipenuhi sampah dan eceng gondok. Sungai yang mengairi PLTA Saguling itu dulu pernah menjadi tempat bermain Indra.

Pada 2001, atau dua tahun setelah dia lulus kuliah, Indra merintis koperasi yang bergerak di bidang usaha pengolahan sampah. Sebagian dari anggota koperasi ialah para pemulung.

Di sekitar Sungai Citarum yang berada di wilayah Desa Cipatik, Citapen, dan Cihampelas, terdapat puluhan pemulung yang turut memutar bisnis koperasi.

“Sekarang sudah ada 58 warga menjadi binaan. Untuk 1 kilogram sampah plastik, dibayar Rp 1.500. Dalam sebulan, sekarang 100 ton limbah plastik seperti kaleng minuman, kantong kresek, dan kemasan botol diangkat dari Sungai Citarum,” katanya.

Baca Juga:  Tiga Bapaslon Pilkada Kabupaten Sukabumi Dirawat di RSHS Bandung

Sampah plastik itu kemudian dicacah dan dijual ke pabrik daur ulang. Adapum eceng gondok yang memenuhi Citarum diubah menjadi berbagai kriya, seperti tas, dompet, hingga atap dan dinding rumah.

“Kurang lebih ada 15 produk kerajinan dari eceng gondok, harganya di kisaran Rp 50.000-250.000. Sebulan, 4 ton eceng gondok basah juga terangkat dari sungai Citarum,” sebutnya.

Meskipun sudah membantu perekonomian para pemulung Indra menyadari, para pemulung masih cukup kesulitan untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi.

Oleh karena itu, pria kelahiran Bandung, 7 Maret 1972, ini lantas membentuk Yayasan Bening Saguling Foundation pada 2011. Yayasan tersebut menyediakan ruang pendidikan, berikut taman bacaan masyarakat.

Baca Juga:  Menelusuri Rute Cepat Jalan Raya Pos Peninggalan Hindia Belanda

“Bayar sekolahnya dengan bank sampah. Sekarang yang tingkat TK ada 22 siswa, sedangkan SMP ada 15 siswa. Materi pembelajaran juga berwawasan lingkungan,” terangnya.

Kalau koperasi berada di ranah bisnis, maka taman bacaan masyarakat itu menggunakan pendekatan pendidikan. Ketika para pemulung bekerja, anak-anaknya yang biasa bermain di sekitar sungai pun akhirnya bisa mengiisi waktu dengan belajar.

Ke depan, Indra mengaku masih punya keinginan untuk berkontribusi dalam mengurangi sedimentasi Sungai Citarum. Dengan alasan itu, dia menginisiasi pembentukan Hutan Komunitas.

Sedimentasi Sungai Citarum bakal dikurangi dengam cara menghijaukan bantaran sungai melalui penanaman pohon keras secara rutin.

“Sekarang kalau dilihat dari citra satelit lingkungan, di sini tutupan lahannya sudah lebih baik dari tempat lain,” ucapnya. (Yoy)