Begini Jawaban Menaker Soal Tujuh Tuntutan Buruh Terkait Omnibus Law

JABARNEWS | JAKARTA – Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menanggapi tujuh tuntutan dari aliansi buruh yang menolak Undang-undang Omnibus Law. Mulai dari perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) seumur hidup, outsourcing, tolak jam kerja eksploitatif, hingga hak cuti.

Ida pun menegaskan, hal itu menjadi poin-poin positif yang terangkum dalam klaster ketenagakerjaan Undang-undang Omnibus Law.

“Terdapat prinsip-prinsip umum yang dipatuhi dalam penyusunan klaster ketenagakerjaan RUU Omnibus Law. Pertama, penyusunan ketentuan klaster ketenagakerjaan memperhatikan hasil putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi UU 13 Tahun 2003,” kata Ida seperti dilansir dari Viva, Selasa (6/10/2020).

Baca Juga:  BNPB Sebut Dampak Kejadian Bencana 2021 Naik Sampai 76,9 Persen

Kemudian, ketentuan mengenai sanksi ketenagakerjaan dikembalikan kepada UU 13/2003. Ida mengatakan, RUU Omnibus Law tetap mengatur syarat-syarat dan perlindungan hak bagi pekerja/buruh PKWT yang menjadi dasar dalam penyusunan perjanjian kerja.

Di samping itu, menurut dia, UU Omnibus Law mengatur perlindungan tambahan berupa kompensasi kepada pekerja/buruh pada saat berakhirnya PKWT. Syarat-syarat dan perlindungan hak bagi pekerja atau buruh dalam kegiatan alih daya (outsourcing) masih tetap dipertahankan.

“Bahkan UU Cipta memasukkan prinsip pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh, apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya. Hal ini sesuai dengan amanat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011,” kata Ida.

Baca Juga:  Menag Yaqut Umumkan Kabar Baik: Tunjangan Kinerja PNS Kemenag Naik Jadi 80 persen!

Di samping itu, lanjut Ida, dalam rangka pengawasan terhadap perusahaan alih daya, RUU Omnibus Law juga mengatur syarat-syarat perizinan terhadap perusahaan alih daya yang terintegrasi dalam sistem Online Single Submission (OSS).

Sementara itu, ketentuan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat tetap diatur seperti UU eksisting (UU 13 Tahun 2003). Lalu, menambah ketentuan baru mengenai pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat pada sektor usaha dan pekerjaan tertentu.

“Hal ini untuk mengakomodir tuntutan perlindungan pekerja/buruh pada bentuk-bentuk hubungan kerja dan sektor tertentu yang di era ekonomi digital saat ini berkembang secara dinamis,” ujarnya.

Baca Juga:  Pastikan Ukuran Timbangan, Ini yang Dilakukan DKUPP Purwakarta

Sementara itu, Ida menegaskan, UU Omnibus Law tetap mengatur hak-hak dan perlindungan upah bagi pekerja/buruh sebagaimana peraturan perundang-undangan eksisting (UU 13/2003 serta PP 78/2015). Dan kemudian selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah yang baru.

“Terdapat penegasan variabel dan formula dalam penetapan upah minimum berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Selain itu, ketentuan mengenai upah minimum kabupaten/kota tetap dipertahankan. Dengan adanya kejelasan dalam konsep penetapan upah minimum dimaksud, maka RUU Omnibus Law menghapus ketentuan mengenai penangguhan pembayaran upah minimum,” katanya. (Red)