Waduh, UU Cipta Kerja Disebut Berpotensi Ancam Hutan Adat

JABARNEWS | BANDUNG – Ketua Badan Registrasi Wilayah Adat Kasmita Widodo khawatir pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja membuat banyak masyarakat adat tidak terakomodasi perlindungan dan legalitas hukum yang sebelumnya dijanjikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Kami mencatat potensi hutan adat (yang belum diakui) ada 6,9 juta hektare. Dari 6,9 juta hektar ini sudah ada dokumen yang kami siapkan 900an ribu hektar usulan hutan adat,” ungkapnya kepada dilansir dari laman CNNIndonesia.com, Jumat (16/10/2020).

Sedangkan hutan adat yang diakui KLHK, katanya, hanya seluas 44.710 hektar. Luasan hutan adat yang diakui KLHK itu disebut jauh dari luas hutan adat yang diklaim masyarakat namun tidak diakui pemerintah.

Baca Juga:  Sosialisasikan Program Bangga Kencana di Purwakarta

Dodo menjelaskan selama ini kendala pengakuan hutan adat karena syarat pengajuan yang mengharuskan masyarakat memiliki surat keputusan atau peraturan daerah, yang mengakui wilayah tersebut sebagai hutan adat.

Ini diatur melalui UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 67 menyebut masyarakat hukum adat berhak melakukan pemungutan hasil hutan, mengelola hutan dan memberdayakan hutan dalam meningkatkan kesejahteraan selama wilayahnya diatur dalam perda.

“Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah,” tulis ayat (2) Pasal 67.

Sedangkan menurut Dodo, banyak hutan milik masyarakat adat yang tidak diatur melalui perda atau surat keputusan di tingkat pemerintah daerah. Sehingga masyarakat sulit mendapatkan pengakuan dari pemerintah pusat.

Baca Juga:  Supardi: RD Pelatih Bagus, Kita Juga Punya Pelatih Bagus

Ketentuan ini, katanya, tidak dicabut maupun diubah melalui Omnibus Law. Sedangkan perizinan berusaha diperluas dan dipermudah. Ia pun khawatir hal ini tidak akan banyak membantu masyarakat adat.

“Maka apa yang terjadi ke depan? Perlambatan pengakuan hutan adat masih akan terjadi. Di satu sisi, perluasan kesempatan berusaha akan lebih terbuka dengan Omnibus Law,” singgungnya.

Untuk itu, ia menilai KLHK harus mengupayakan percepatan pengakuan hutan adat dan penerbitan peta penunjukan hutan adat. Sehingga dapat memastikan perlindungan untuk masyarakat adat.

Sebelumnya, KLHK mengklaim UU Cipta Kerja dapat meminimalisir kriminalitas terhadap masyarakat adat. Ini karena Pasal 29A dan 29B mengatur landasan hukum untuk izin perhutanan sosial.

Baca Juga:  Belum Resmi Cerai dengan Sule, Nathalie Holcsher Pamer Boy

Jika masyarakat adat memiliki izin ini, maka akan terlindungi dari sanksi ketika melakukan kegiatan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi.

Kalaupun ada kekhilafan, maksimal itu sanksi administrasi. Demikian juga kalau belum ada izin yang diberikan dirjen PSKL, pasal yang mengatur normal sanksi kami dorong untuk diberikan sanksi administrasi saja kepada masyarakat,” ungkap Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono.

Namun izin perhutanan sosial ini hanya berlaku untuk 12,7 juta hektare hutan sosial yang diakui KLHK. Kawasan hutan sosial ini terdiri dari hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, Kulin KK, IHPS dan Hutan Adat. (Red)