Terapi Gen Berbasis Stem Cell: Strategi Terapeutik Baru Penanganan HIV

Penulis: Arif Setiawansyah, Humairani Rahman, dan Silvana Anggraeni (Mahasiswa Program Magister Farmasi, Institut Teknologi Bandung)

Sejak diperkenalkannya obat antiretroviral (ART) pada tahun 1996, kualitas hidup orang yang terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) meningkat secara signifikan. Melalui penggunaan ART secara teratur, viral load dapat ditekan ke tingkat yang tidak terdeteksi. Namun, kebanyakan pasien harus mematuhi terapi antivirus sepanjang hidup mereka. Ada beberapa masalah dengan manajemen pengobatan harian seumur hidup ini. Selain biaya dan kepatuhan pasien terhadap penggunaan obat, efek samping obat merupakan masalah utama dalam pengelolaan infeksi HIV.

Infeksi HIV kronis menyebabkan tanda awal dislipidemia atau komplikasi lanjut usia dari penyakit kardiovaskular pada pasien terinfeksi HIV yang menerima ART. Oleh karena itu, pengembangan strategi terapeutik baru untuk remisi seumur hidup dalam pengobatan HIV telah menjadi salah satu fokus utama penelitian HIV/AIDS saat ini.

Salah satu strategi terapeutik baru yang dapat digunakan adalah terapi berbasis stem cell. Gagasan utama terapi gen berdasarkan stem cell hematopoietik anti-HIV/sel progenitor (HSPC) adalah untuk merekayasa HSPC yang diturunkan dari pasien secara genetik untuk memerangi infeksi HIV.

Terdapat beberapa target stem cell yang dapat digunakan dalam penangan infeksi HIV, diantaranya adalah penargetan pada penghambatan mekanisme masuknya virus kedalam sel host, gen anti-HIV turunan factor restriksi inang, 2LTRZFP untuk menghambat integrasi HIV dan penargetan pada provirus.

Target pertama adalah menghambat mekanisme masuknya virus HIV ke dalam sel inang. Telah diketahui bersama bahwa tahap awal sebelum terjadinya infeksi HIV adalah proses masuknya virus ke dalam sel inang. Proses ini melibatkan beberapa agen seperti ko-reseptor kemokin CCR5 dan CXCR4 sebelum terjadinya proses fusi virus HIV ke dalam sel.

Kedua kemokin reseptor tersebut berperan sebagai ko-reseptor yang digunakan oleh virus HIV untuk berikatan dengan sel inang. Oleh karena itu, kedua kemokin reseptor tersebut dapat digunakan sebagai target dalam menghabat masuknya virus HIV ke dalam sel. Pengembangan gen anti-HIV terhadap kemokin reseptor CCR5 telah menjadi fokus utama pada penelitian terapi gen HSPC anti-HIV. CCR5 merupakan ko-reseptor utama HIV. Dengan menghambat fase awal dari mekanisme infeksi HIV ini dapat sangat efektif dalam melindungi sel dari infeksi HIV tropik CCR5 sebelum HIV berintegrasi ke dalam genom inang untuk menetapkan infeksi yang stabil.

Baca Juga:  Purwakarta Segera Terapkan PSBB Parsial

Ribozyme, RNA interference, zinc finger nuclease (ZFN), dan teknologi pengubahan genom CRISPR/Cas9 telah dikembangkan sebagai inhibitor CCR5 dalam terapi gen HSPC anti-HIV. Namun karena virus HIV tidak hanya terdiri dari tropic CCR5, tetapi virus HIV juga terdiri dari tropic X4 yang menggunakan kemokin reseptor CXCR4 sebagai ko-reseptor untuk berikatan dengan sel inang. Sehingga, CXCR4 merupakan target potensial lain dalam terapi gen anti-HIV. Beberapa penelitian telah dilakukan dalam penargetan CXCR4 ini, seperti penelitian yang dilakukan oleh Anderson dkk pada tahun 2003 yang menargetkan CXCR4 menggunakan shRNA dan melindungi sel terhadap jenis HIV tropik X4. Selain itu, teknologi pengubahan genom juga telah diaplikasikan pada CXCR4 untuk memperoleh ketahanan terhadap infeksi HIV.

Target kedua adalah gen anti-HIV turunan faktor restriksi inang. Banyak penelitian mengatakan bahwa semakin banyak jumlah factor restriksi inang dapat meningkatkan penghambatan jumlah infeski HIV. Factor-faktor restriksi inang merupakan sistem antiviral endogen yang terdapat pada sel inang. Mereka (factor restriksi inang) biasanya diekspresikan secara konstitutif pada tingkat rendah dan di tingkatkan saat terjadinya infeksi melalui respon interferon.

Mereka bekerja dengan menargerkan komponen utama virion (virus yang belum matang) dan memberikan garis pertahanan terhadap virus. Namun, virus HIV saat ini telah banyak mengalami evolusi sehingga dapat melewati sistem pertahanan dari factor restriksi inang. Sehingga modifikasi factor restriksi inang secara genetik dapat diterapkan sebagai solusi untuk memberikan respon pertahanan yang kuat dalam melawan HIV. Ini dapat dilakukan dengan cara memodifikasi Human TRIMCyp atau Mutated Human TRIM5α.

Negau dkk melakukan rekayasa secara genetik HuTRIMCyp dengan mengganti domain B30.2 dengan CypA. Hal ini membuat HuTRIMCyp mampu mengikat kapsid HIV secara efisien dan memblokir infeksi HIV segera setelah masuk sel. Selain itu, Human TRIM5 telah direkayasa untuk menghambat HIV. Yap dkk menunjukkan bahwa mutasi titik tunggal dalam domain SPRY R332P dapat memungkinkan pengikatan protein kapsid HIV dan secara efisien membatasi HIV. Dan baru-baru ini, Jung dkk mendemonstrasikan bahwa limfosit yang mengekspresikan Human TRIMα 5332G-R335G yang telah direkayasa dapat membatasi HIV secara efisien, termasuk HIV yang sangat berbed seperti strain kelompok O.

Baca Juga:  Kabupaten/Kota di Jabar Dapat Bantuan Dana Rp. 200 Miliar dari Pemprov

Target ketiga adalah 2LTRZFP untuk menghambat integrasi HIV. HIV berintegrasi ke dalam genom DNA inang untuk menetap secara stabil di sel yang terinfeksi sebagai provirus. Penghambatan infeksi HIV sebelum langkah ini sangat penting untuk mencegah terjadinya infeksi HIV kronis. Sakkhachornphop dkk mendemonstrasikan bahwa 2LTRZFP-GFP (protein zinc finger anti-HIV (ZFP) yang menyatu dengan bagian GFP) menargetkan dan mengikat pada 2-long terminal repeat (2-LTR) pada kompleks pra-integrasi, sebelum integrasi genom, dengan afinitas nanomolar.

Mereka menggunakan vektor lentiviral generasi ketiga dan ekspresi plasmid DNA untuk mengirimkan transgen 2LTRZFP-GFP ke dalam berbagai jalur sel dan menunjukkan bahwa ekspresi 2LTRZFP-GFP menurunkan integrasi genom dari vektor lentiviral berbasis HIV pada sel HEK 293T sebesar 50%. Mereka juga menunjukkan bahwa ada penurunan lebih dari 100 kali lipat dalam produksi protein kapsid p24 HIV dalam sel SupT1 HIV-chal-lenged karena ekspresi 2LTRZFP-GFP, hal ini menunjukkan bahwa transgen 2LTRZFN-GFP mengganggu aktivitas integrasi HIV. Selain itu, aktivitas molekuler 2LTRZFP-GFP dievaluasi dalam sel mononuklear darah perifer yang menunjukkan adanya gangguan integrasi HIV oleh 2LTRZFP-GFP.

Baca Juga:  Governance dan Inovation, Kunci Raih Hati Turis Milenial

Target berikutnya adalah pengeluaran provirus dari sel inang. Meskipun upaya menghentikan infeksi pada tahap awal sebelum terjadinya fase integrasi merupakan langkah penting, proses ini mungkin tidak cukup untuk mencapai pengendalian infeksi HIV yang stabil. Hal ini dikarenakan langkah preventif awal seperti penerapan CCR5 atau CXCR4 gene inhibitors, C46, huTRIMCyp/TRIM5α dan 2LTRZFP-GFP mungkin tidak 100% efektif karena sel yang masih terinfeksi akan tetap menghasilkan HIV.

Oleh karena itu, pengembangan gen anti-HIV yang dapat menghambat HIV pada tahap lanjutan setelah proses integrasi dalam genom sel inang sangat penting. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengeluarkan provirus HIV dari genom sel inang. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membuat HIV-specific Tre recombinase (HIV LTR-specific recombinase) dari Cre recombinase untuk merubah spesifitasnya dari loxP site ke HIV LTR dan mengenali urutan asimetris pada HIV LTR. Akibatnya, provirus dapat dikeluarkan dari genom sel inang.

Terapi gen anti-HIV berbasis stem cell HSPC merupakan salah satu terobosan baru sebagai strategi penanganan infeksi HIV. Banyak gen anti-HIV yang dapat menghambat infeksi HIV pada tahap yang berbeda telah dikembangkan. Beberapa di antaranya menunjukkan hasil uji in vitro dan in vivo yang bagus dalam menghambat infeksi HIV. Diharapkan metode-metode tersebut dapat melalui tahap uji klinis agar dapat diterapkan dan digunakan pada penanganan pasien terinfeksi HIV. (*)

Isi tulisan ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis.