Menyoal Sekolah Tatap Muka, Tepatkah?

Penulis: Nelly, M.Pd. (Dosen dan Aktivis Peduli Generasi)

Nyaris menyentuh angka 10 bulan wabah pandemi melanda negeri ini. Dampaknya begitu dirasakan oleh seluruh rakyat dan bangsa ini. Tak terkecuali pada sektor pendidikan, seperti diketahui semenjak bulan Maret 2020 seluruh proses belajar mengajar mulai dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi belajar dari rumah. Berbagai persoalan pun kembali muncul seiring diterapkannya sistem pembelajaran daring.

Banyaknya masalah, keluhan orang tua, dan tidak efektifnya proses pembelajaran sistem daring memicu pemerintah untuk segera mengambil kebijakan baru yaitu pemberlakuan sekolah tatap muka, meski pandemi yang terus melaju naik pastinya mengancam keselamatan. Seperti dilansir dari media CNN Indonesia, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengizinkan pemerintah daerah untuk memutuskan pembukaan sekolah atau kegiatan belajar tatap muka di sekolah di seluruh zona risiko virus corona mulai Januari 2021 (20/11/2020).

Keputusan tersebut mendapat tanggapan beragam di tengah masyarakat, dilansir dari media Liputan6.com, Pemerintah disebut berencana membuka sekolah untuk pembelajaran tatap muka pada Januari 2021 mendatang. Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menyatakan, Komisi X DPR mendukung rencana tersebut dengan beberapa syarat. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan protokol Kesehatan ketat (20/11/2020).

Huda menyebut, pembukaan sekolah tatap muka memang menjadi kebutuhan, terutama di daerah-daerah. Hal ini terjadi karena pola pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak bisa berjalan efektif karena minimnya sarana prasarana pendukung, seperti tidak adanya gawai dari siswa dan akses internet yang tidak merata.

Menurutnya kondisi tersebut akan memunculkan efek domino di mana peserta didik akan kehilangan kompetensi sesuai usia mereka. Lebih parahnya lagi, peserta didik banyak yang harus putus sekolah karena tidak mempunyai biaya atau terpaksa harus membantu orang tua mereka. Kami menerima laporan bahwa jumlah pekerja anak selama pandemi ini juga meningkat, karena mereka terpaksa harus membantu orang tua yang kesulitan ekonomi.

Pembukaan sekolah dengan pola tatap muka, kata Huda, akan mengembalikan ekosistem pembelajaran bagi para peserta didik. Hampir satu tahun ini, sebagian peserta didik tidak merasakan hawa dan nuansa sekolah tatap muka.

Baca Juga:  Sebanyak 3000 Vial Vaksin Covid-19 Tiba Di Tebing Tinggi

Hal berbeda dilansir dari media Konfirmasitimes.com, Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru menilai keputusan pemerintah pusat memperbolehkan pembukaan sekolah pada Januari 2021 dengan menyerahkan kewenangan ke pemerintah daerah sangat berbahaya, belajar online harus diteruskan sampai vaksinasi dilakukan. Dalam keterangannya Koordinator P2G, Satriwan Salim, Senin (23/11/2020) mengatakan bahwa beberapa alasannya.

Pertama, kesiapan pemerintah daerah dan pihak sekolah mempersiapkan infrastruktur protokol kesehatan di sekolah cukup diragukan, sebab budaya disiplin masih kurang, jika lalai maka bisa menyebabkan klaster penularan baru di sekolah. P2G meragukan kesiapan sekolah memenuhi syarat-syarat daftar periksa protokol kesehatan yang cukup detail. Kesiapan infrastruktur dan budaya disiplin masih belum maksimal dilaksanakan. Sarana-prasarana yang menunjang protokol kesehatan bersifat mutlak, tapi banyak sekolah belum menyiapkan dengan sempurna,” kata Satriwan.

Oleh sebab itu, P2G meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Kementerian Agama turun tangan memastikan satu per satu protokol kesehatan sekolah di daerah. Menurutnya sekolah juga tak boleh memaksa orang tua memberikan izin. Mendapatkan layanan pendidikan adalah hak dasar siswa.

Pembukaan sekolah pada Januari 2021 juga dinilai berbahaya bagi kesehatan pelajar dan tenaga pendidik karena digelar usai libur panjang akhir tahun yang biasanya muncul klaster di tingkat keluarga pasca liburan, belum lagi potensi kerumunan saat Pilkada 9 Desember 2020. Bayangkan Januari kemudian sekolah tatap muka dilakukan. Jadi kekhawatiran sekolah akan menjadi klaster terbaru Covid-19 sangat beralasan.

Masih menurut Satriwan, bahwa sekolah tatap muka dengan pembatasan juga tidak akan efektif, sebab interaksi sosial siswa di sekolah juga sangat terbatas dan tak akan optimal, sama saja dengan belajar online dari rumah. Guru juga tidak akan bisa optimal mengawasi aktivitas siswa setelah keluar dari gerbang sekolah. Mereka main kemana, melakukan apa, bersama siapa, dan mengendarai apa, semuanya di luar pengawasan guru. Di sini juga letak potensi penyebaran Covid-19 yang kita khawatirkan.

Satriwan menegaskan pihaknya tidak mendukung sekolah dibuka pada Januari 2021, dia menyarankan sekolah baru dibuka setelah pemerintah melakukan program vaksinasi Covid-19 agar aman.

Baca Juga:  Budi Bangga Karya Seni Tasikmalaya Jadi Souvenir Pernikahan Anak Jokowi

Ya, inilah kondisi negeri ini serba dilematis yang tak berkesudahan. Kebijakan membuka sekolah di tengah penanganan pandemi yang stagnan dan jalan ditempat, tentunya memang tak tepat. Tentu saja ini menguatkan bahwa rezim hari ini jauh dari meriayah masyarakat dari seluruh aspek.

Kebolehan pembukaan sekolah di januari 2021 tidak diiringi kemajuan berarti dalam penanganan covid menempatkan rakyat pada posisi dilematis. Sekolah dibuka tak ada jaminan rasa aman buat peserta didik dan para guru. Jika ini tetap dipaksakan maka yang ada masalah baru akan muncul kembali dengan penambahan klaster baru dari sekolah.

Lantas bagaimana menyikapi problem ini? Jika dilihat dari kacamata agama, wabah pandemi Covid-19 adalah sudah menjadi ketetapan dari Allah SWT. Lalu bagaimana negara menyikapi hal ini agar semua tetap berjalan dengan sebaiknya termasuk untuk masalah pendidikan. Pendidikan bagi putra dan putri bangsa adalah hal yang urgen harus dipenuhi negara baik masa normal maupun masa pandemi. Saat ini tatkala wabah masih menjadi mengancam nyawa dan keselamatan rakyat maka seharusnya fokus pemerintah adalah mengoptimalkan dulu upaya agar pandemi segera tertangani.

Hal terpenting adalah memutus mata rantai penularan Covid-19. Perlu adanya pemeriksaan dini secara gratis ke seluruh rakyat, adanya pelacakan, isolasi bagi penderita dan mempercepat adanya vaksin bagi seluruh warga masyarakat. Pemeriksaan dini menjadi penting agar bisa mendapatkan perawatan dengan cepat. Tak hanya itu, dengan mengetahui lebih cepat, kita bisa menghindari potensi penularan ke orang lain. Lalu, pelacakan dilakukan pada kontak-kontak terdekat pasien positif Covid-19. Setelah diidentifikasi petugas kesehatan, kontak erat pasien harus melakukan isolasi atau mendapatkan perawatan lebih lanjut.

Kemudian, perawatan akan dilakukan apabila seseorang positif Covid-19. Jika ditemukan tidak ada gejala, orang tersebut harus melakukan isolasi mandiri di fasilitas yang sudah ditunjuk pemerintah. Sebaliknya, jika orang tersebut menunjukkan gejala, para petugas kesehatan akan memberikan perawatan di rumah sakit yang sudah ditunjuk pemerintah.

Kemudian terapkan sanksi aturan yang tegas pada siapa saja yang tidak taat protokol. Selain itu negara harus gencar mensosialisasikan pada warga untuk melakukan 3M (Menggunakan masker, Mencuci tangan, dan Menjaga jarak).

Baca Juga:  Petani Kopi di Lahat Tewas Diterkam Harimau

Periayahan dan pengurusan terhadap rakyat seperti ini wajib dilakukan oleh negara, sebab ini selaras dengan upaya sistem Islam menangani wabah sejak awal sehingga penularannya bisa diminimalisir. Perintah Islam untuk menjaga jarak (social distancing) dan isolasi dari penyakit tercermin dari hadis Rasulullah Saw. berikut.

Dari Usamah bin Zaid, dia berkata, Rasulullah Saw. bersabda,

“Tha’un (penyakit menular/wabah kolera) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari darinya.” (HR Bukhari Muslim).

Dari upaya tersebut di atas yang optimal akan didapatkan mana daerah yang masih zona merah Covid-19 dan mana daerah yang minim kasus. Untuk daerah yang zona merah di mana masih banyak kasus Covid-19 seharusnya pembukaan sekolah (tatap muka) bisa ditunda dulu hingga kondisinya membaik/memungkinkan. Sedangkan untuk daerah minim kasus Covid-19, sekolah bisa dibuka dengan syarat protokol kesehatan yang ketat.

Kurikulum masa pandemi juga mesti disiapkan pemerintah agar tetap sejalan baik yang sekolah masih daring maupun yang sudah sekolah tatap muka. Jadi pemenuhan hak bagi seluruh rakyat termasuk peserta didik tetap terpenuhi oleh negara.

Ya beginilah sistem Islam menempatkan keselamatan warganya adalah yang terpenting dan bersungguh-sungguh mengurus rakyatnya, sebagaimana hadis Rasulullah Saw., “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

Jadi, adapun berhubungan dengan rencana pembelajaran tatap muka yang tengah diopinikan saat ini, sesungguhnya itu sangat riskan bagi kesehatan dan keselamatan anak didik dan pendidik, juga berbahaya terhadap keluarga yang memungkinkan terbentuknya klaster baru penyebaran Covid-19 karena penularannya saat ini tak terkendali.

Pemerintah harus memastikan dulu covid telah melandai dan sudah dapat tertangani. Jangan sampai salah langkah kebijakan yang malah membuat rakyat kembali mengalami kesengsaraan. (*)

Wallahu ‘alam bis showab