Covid-19: Sebuah Pandemi, Ironi dan Refleksi

Penulis: Soraya Ammaliza Shahab, S.Kep

Sepanjang tahun 2020, hampir tidak ada celah terlewatkan untuk membahas topik seputar pandemi Covid-19. Ruang media diwarnai data, peristiwa, angka dan semua perihal yang berkaitan. Mesin penghitung digital seperti worldometer, tiap hari bahkan jam dan menit mengupdate angka wabah ini di seluruh dunia. Sehingga tidak berlebihan, pandemi banyak menyita atensi dan berdampak massif menjadi trending topic selama tahun 2020.

Terhitung sejak akhir tahun 2019 hingga hari ini, hampir genap setahun bumi tercinta disinggahi makhluk super mikro bernama novel corona virus. Virus asal Wuhan ini menyebar ke lebih 193 negara di seluruh dunia dalam waktu yang relatif singkat. Dampak destruktif yang ditimbulkan tidak hanya terbatas pada masalah kesehatan. Tapi juga merambah di segala sektor kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, bahkan pemerintahan.

Dampak Sistemik, Rakyat Menjerit

Di tengah kisruh pandemi, rentang panjang dan tingkat penyebaran yang cepat,rakyat dipaksa bertarung. Sendi-sendi kehidupan kian berderit dikarenakan kehidupan yang kian sulit sehingga banyak akhirnya masyarakat yang menjerit.

Pada Agustus 2020, BPS menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 5,32%. Melemahnya pertumbuhan ekonomi ini juga menjadi sinyal buruk bagi dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Upaya efisiensi dan untuk menekan kerugian, memaksa pelaku usaha merumahkan bahkan memberhentikan pekerja.

Beradasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan hingga 31 Juli 2020, jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja ( PHK) maupun dirumahkan mencapai 3,5 juta lebih. Tersebar di 4 sektor utama perekonomian yaitu pariwisata, manufaktur, pertanian dan perdagangan.

Dari sisi sosial, pandemi telah mengubah kebiasaan masyarakat dibanding pra pandemi. Perubahan sporadis yang diikuti ketidaksiapan masyarakat telah menimbulkan disorganisasi sosial. Kebijakan physical distancing dan stay at home misalnya, tidak dipungkiri menimbulkan kejenuhan, kemonotonan aktifitas, gesekan antar anggota keluarga dan masalah lainnya.

Menurut Komisioner Komnas HAM, Maria Ulfa Anshor, keluarga dengan penghasilan kurang dari 5 juta rupiah per bulan mengalami peningkatan kekerasan selama pandemi. Bertambahnya pekerjaan rumah tangga ikut menyumbangkan stressor sehingga membuat hubungan suami istri menjadi tegang. Efek domino dari hal ini nampak pula dari meningkatnya angka perceraian di berbagai daerah. Dirjen Badan Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Aco Nur, mengatakan terjadi peningkatan perceraian di Pulau Jawa. Kasus didominasi gugat cerai khusunya di Jawa Barat, Jawa tengah dan Surabaya.

Pandemi juga berimbas pada aspek pelanggaran hukum yaitu meningkatnya angka kriminalitas. Data kejahatan yang dicatat Polri selama pandemi mengalami peningkatan sebesar 7,04% pada minggu ke-19 yaitu sekitar 3.726 kasus kejahatan yang meliputi kejahatan jalanan, siber dan penculikan.

Baca Juga:  DPRD Jabar Dorong Pencabutan Moratorium Pemekaran Kabupaten Subang Utara

Social distancing telah mengubah pola belajar dari tatap muka menjadi daring atau via media digital. Bertumpu pada penggunaan teknologi, pola ini mengharuskan orang tua dan siswa tanggap dengan berbagai aplikasi yang digunakan. Kendala kepemilikan android, jaringan yang tidak mendukung, miskomunikasi dalam kelas virtual, dan biaya tambahan yang harus dikeluarkan keluarga, menambah ruwet aktifitas belajar mengajar ini. Kasus seorang bapak mencuri laptop/android, siswi bunuh diri, ketidaksinergisan siswa, orang tua dan guru, menambah deret panjang kasus selama diterapkannya daring.

Di bidang kesehatan, sudah sangat jelas. Fasilitas kesehatan overload, tenaga kesehatan kewalahan, sarana yang kurang memadai, testing yang hanya mencakup 2% penduduk, kisruh vaksin dan randomnya penerapan protokol kesehatan yang mengakibatkan gagalnya penghentian transmisi penyakit. Hingga 10 November 2020, tercatat 168 dokter dan 114 perawat di Indonesia gugur berjuang melawan pandemi.

Ironi yang Bikin Ngeri

Di tengah pandemi, masyarakat berharap adanya kebijakan-kebijakan yang dapat meringankan penderitaan. Namun apa dikata, di masa sulit ini, pemerintah justru melahirkan kebijakan kontroversional. Pertama, Perppu Covid-19 yang ditandatangani presiden Joko Widodo pada 31 Maret 2020. Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19. Pada pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa sejumlah pejabat yang melaksanakan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana asalkan dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan. Benar saja, lahan basah penanganan Covid-19 ini dan “payung hukum” Perppu ini berhasil menggelincirkan menteri sosial Juliari Batubara yang tertangkap tangan pada 5 Desember lalu. Karena korupsi dana penanggulangan bencana sebesar 17 miliar rupiah. Barang bukti berupa uang ditemukan dalam OTT tersebut. Miris memang.

Kedua, Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang jaminan kesehatan. Aturan ini diteken pada 5 Mei lalu yang mengesahkan kenaikan tarif BPJS yang berlaku mulai 1 Juli 2020. Iuran peserta mandiri kelas I naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 150.000. Iuran peserta mandiri kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 100.000 dan kenaikan iuran peserta kelas III baru mulai akan berlaku pada Januari 2021 dari Rp 25.500 menjadi Rp 35.000. Sungguh kenaikan ini menunjukkan ketidakpekaan sosial mengingat peserta mandiri adalah kelompok masyarakat pekerja informal yang perekonomiannya sangat terdampak selama pandemi. Tragis.

Ketiga, pilkada 2020. Meskipun di tengah pandemi, komisi II DPR sepakat akan tetap menggelar pilkada pada 9 Desember 2020. Sejumlah ormas dan lembaga bahkan masyarakat umum meminta agar pemerintah menunda pilkada dan mengutamakan kesehatan dan keselamatan masyarakat. Juru bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, kenaikan kasus Covid-19 salah satunya disebabkan kontestasi pilkada. Saat ini saja, ada 3 komisioner KPU Pusat yang terpapar Covid-19 yakni Arief Budiman, Evi Novida Ginting dan Pramono Ubaid. Juga ketua KPU Sulawesi Selatan Faisal Amir. KPU mencatat, hingga 10 September 2020, setidaknya 60 calon kepala daerah terpapar Covid-19. Namun, Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan menegaskan pilkada akan tetap digelar dengen protokol kesehatan. Ironi memang.

Baca Juga:  Duh! Gegara Cuaca Buruk Dua Pesawat Ini Lakukan Pendaratan Darurat

Keempat, melenggangkan RUU Cipta Kerja. Omnibus Law RUU Cipta Kerja sah menjadi undang-undang melalui rapat paripurna pada 5 Oktober 2020. Layangan protes sudah sejak awal diajukan masyarakat dikarenakan RUU ini mengandung aturan yang memangkas hak-hak pekerja dan hanya menguntungkan pengusaha. Libur sekali dalam sepekan, tidak ada sanksi pengusaha yang tak membayar upah, tidak adanya surat peringatan 3 sebelum pemecatan, karyawan tidak bisa mengajukan gugatan pasca dipecat adalah sebagian kisruh yang ditimbulkan UU ini. Walaupun protes mengalir, apa mau dikata, RUU ini justru dikebut dan akhirnya menjadi deretan kado pahit berikutnya di tengah pandemi.

Kelima, tebang pilih penerapan protokol kesehatan selama pandemi. Penerapan sanksi bagi pihak yang tidak patuh dalam penerapan protokol kesehatan, harusnya bisa menjadi rem terjadinya transmisi. Rupa-rupanya dalam pelaksanaannya, kebijakan ini justru mempertegas randomnya sikap pemerintah. Perbedaan sikap dalam penegakan protokol kesehatan secara gamblang nampak saat kepulangan Habib Riziq Shihab dan kampanye serta konsentrasi massa di beberapa tempat. Satu kena sanksi, yang lain dilindungi. Fair kah? Tontonan yang bikin rakyat tersenyum sinis.

Keenam, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/9860/2020 tentang Penetapan Jenis Vaksin Untuk Vaksinasi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Keputusan Menkes ini menetapkan enam jenis vaksin yang dapat digunakan di Indonesia. Keenam vaksin tersebut diproduksi oleh Bio Farma, Astra Zeneca, China National Pharmaceutical Grup Corporation (Sinopharm), Moderna, Pfizdedr Inc and Biotech, dan Sinovac Biotech. Titik kritis yang ingin diulas terkait release vaksin ini bukanlah masalah halal-haram, karena hal itu sudah cukup jelas dibahas dalam fiqih tentang penggunaan bahan (termasuk media) haram dalam pembuatan vaksin. Namun, yang perlu kita kritisi adalah “kematuran” tingkat efisiensi. Bahkan motif utama kejar tayang releasenya vaksin ini dalam waktu yang sangat singkat, yaitu kurang lebih 10 bulan. Sedangkan sebagai perbandingan, vaksin untuk infkesi AIDS saja yang telah hadir sejak tahun 1969, belum berhasil ditemukan mengingat virus yang terus bermutasi.

Baca Juga:  Wujud Kepedulian Kanit Laka Lantas Polres Purwakarta kepada Anggota

Kapitalis Sekuler Akar Masalah

Sederetan ironi di atas pastilah membuat gerah masyarakat, terutama mereka yang terdampak dan bagi mereka yang berpikir kritis. Namun, seolah menjadi dua sisi mata uang, naluri rakus kapitalis selalu hadir di tengah kondisi krisis sekalipun. Benar adanya istilah Plautus yang berarti manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Fakta hari ini berhasil mengkonfirmasinya. Ketika pandemi tak mengusik empati, ketika pandemi hanya sebatas narasi, dan ketika pandemi hanya sekedar untuk mendapatkan fee. Wajar jika masyarakat menuntut sebuah resolusi yang membawa perubahan hakiki.

Menyongsong Abad Transformasi

Wajah peradaban umat manusia selalu berubah seiring waktu dan dinamika yang dilalui. Terkadang perubahan itu diawali dengan suatu peristiwa seperti perang, bencana, wabah, peristiwa politik dan sebagainya. Di tengah ancaman pandemi ini pun, kondisi dunia yang diguncang resesi, menggelitik kita bertanya, “Seperti apa dunia pasca corona?”

Epidemiolog dan penulis buku “Corona Virus Pandemi Pembelah Peradaban” dr. Tifauzia Tyassuma memaparkan :

“Pakar medis dan mantan kepala Pusat Pengawasan dan Pencegahan Penyakit Dr. Tom Frieden mengatakan bahwa keadaan dunia tidak akan bisa kembali normal seperti sebelum pandemi virus corona melanda. Kishore Mahbubani, yang merupakan penulis buku “Has China Won? The Chinese Challenge to America Primacy” memprediksi bahwa pandemic virus corona ini akan menimbulkan perpindahan globalisasi secara cepat dari Amerika-sentris ke Tiongkok-sentris. Dua prediksi ini cukup membuat kita waspada, bahwasanya akan ada perubahan signifikan di dunia pasca pandemi. Prediksi perubahan tatanan dunia ini pun, jauh sebelumnya telah dirilis Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (NIC) dalam dokumen yang berjudul Mapping the Global Future tentang masa depan dunia tahun 2020. Dalam dokumen tersebut diperkirakan ada 4 hal yang terjadi pada tahun 2020.

Pertama, Dovod World. Terjadinya kebangkitan ekonomi Asia dimana India dan Cina akan menjadi pemain penting ekonomi dunia. Kedua, Pax Americana. Dunia akan tetap dipimpin dan dikontrol Amerika. Ketiga, New Caliphat yaitu kebangkitan kembali Islam. Keempat, Cycle of Fear, yaitu ancaman terorisme dan terjadinya kekacauan dunia.

Prediksi-prediksi di atas telah memberi gambaran bagaimana kemungkinan perubahan global pasca pandemi. Perubahan yang diinginkan tentunya adalah perubahan yang membawa manusia pada kehidupan yang lebih baik, bermartabat dan mempunyai keluhuran nilai. Sebelum menyongsong abad transformasi ini, kiranya layak untuk berefleksi pada pandemi yang telah menguji tatanan kehidupan saat ini, masihkah layak tetap berkompetisi dalam peradaban manusia berikutnya? Wallahu a’lam bishawab.