Benarkah Donor Plasma Darah Dapat Sembuhkan Pasien Covid-19? Begini Penjelasannya

JABARNEWS | BANDUNG – Ketua Komunitas Pendonor Plasma Darah dr Ariani menjelaskan, terapi plasma darah dapat menjadi alternatif penyembuhan terbaik bagi pasien positif, di tengah belum ditemukannya obat Covid-19 dan vaksinasi yang saat ini baru saja mulai.

Terapi plasma darah dipakai dokter di Rumah Sakit Syaiful Anwar Malang. Berdasarkan penelitian, plasma darah dapat meningkatkan angka kesembuhan pasien positif dengan derajat berat 95 persen sembuh, derajat kritis 59 persen sembuh.

“Intinya semuanya masih dalam taraf penelitian, tapi menjanjikan di saat belum ada obat pasti,” kata Ariani di Bandung, Selasa (19/1/2021).

Penjelasan Ariani sekaligus membantah keraguan dari sebagian kalangan dokter yang mengatakan terapi plasma darah tidak efektif menolong pasien positif, bahkan sudah ditinggalkan negara maju seperti Inggris.

Baca Juga:  Kesbangpol Harap Jabar Akur Mampu Jaga Kondusifitas di Pemilu 2024

Pencanangan Gerakan Nasional Pendonor Plasma Konvalesen oleh Wapres menunjukkan terapi ini efektif dan menjadi pilihan saat ini.

“Jika memang tidak efektif sepertinya mustahil pemerintah lakukan ini. Terapi plasma konvalesen memang dalam taraf uji klinis di seluruh negara di dunia,” jelasnya.

Menurut Ariani, saat ini minat penyintas Covid-19 untuk mendonorkan plasma darahnya masih rendah, sementara permintaan sangat tinggi. Sejak berdiri 25 Desember 2020, Komunitas Pendonor Plasma sudah memfasilitasi 241 penyintas.

Namun, ucap Ariani, saat ini permintaan plasma darah terus meningkat, sementara tidak semua PMI melayani donor plasma darah. Jika ada, tidak membuka pendaftaran secara sukarela tapi berdasarkan permintaan dari rumah sakit. Jika tidak ada permintaan, maka PMI tidak akan mencari pendonor. Di satu sisi, stok plasma darah antardaerah tidak merata.

Baca Juga:  Atalia Resmikan Rumah Belajar Batik Tasikmalaya, Salah Satu Bentuk Pelestarian Budaya

“Padahal sebetulnya antar-PMI dapat saling mengirim plasma darah jika ada kebutuhan,” ucapnya.

Ariani menyebut bahwa minat penyintas Covid-19 mendonorkan plasma darahnya rendah disebabkan beberapa hal.

“Pertama karena mereka tidak tahu. Kedua, ada yang masih ogah untuk ke PMI. Kita tidak bisa memaksa, donor sifatnya hanya sukarela, apalagi kita kasih nomor hape penyintas tanpa izin,” tuturnya.

“Ketiga, stigma pun menjadi salah satu pertimbangan. Karena ada stigma ini penyintas banyak yang merasa malu atau tidak mau ditampilkan jika mendaftar (jadi pendonor plasma), nanti takut dikucilkan,” tambahnya.

Baca Juga:  Pansus VI DPRD Jabar Minta Terminal Ciledug Ciptakan Kemudahan Melalui Aplikasi E-Ticket

Rendahnya donor plasma pun dapat disebabkan banyak penyintas yang sebetulnya sudah bersedia jadi pendonor, tapi setelah dites kesehatan ternyata tidak memenuhi syarat. Contohnya, saat positif yang bersangkutan terkategori orang tanpa gejala, atau perempuan yang pernah hamil.

“Perempuan yang pernah hamil itu punya antigen HLA dan HNA, kalau plasma darahnya didonorkan akan terjadi penolakan dari penerima,” ungkapnya.

Ariani menyambut baik ide bahwa kepala daerah dan pejabat publik penyintas Covid-19, mau mendonorkan plasma darahnya.

“Baik banget itu. Pejabat publik bisa jadi influencer,” tutupnya.