Stafsus Sri Mulyani: Pajak Pulsa Sudah Ada Sejak Era Soeharto

JABARNEWS | JAKARTA – Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Serta Pajak Penghasilan (PPh) pada setiap transaksi jual beli pulsa masih menjadi perbincangan hangat.

Baru-baru ini, Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, memberikan statment menarik perhatian publik bahwa pungutan pajak pulsa sudah bukan hal yang baru, bahkan sudah ada sejak masa kepresidenan Soeharto.

Dalam sebuah akun Twitter pribadnya, Yustinus Prastowo menuliskan bahwa pungutan pajak pulsa sudah ada sejak tahun 1984 atau sekurang-kurangnya sejak 1988.

“Sejak kapan pulsa terutang pajak? Sejak 1984 atau sekurang-kurangnya sejak 1988. Kenapa kita baru ribut sekarang? Ya selama ini enggak berasa kalau sudah dipungut pajak. Berarti pajak bukan beban berat bagi pengguna jasa telekomunikasi,” tulis Yustinus melalui akun Twitter @prastow seperti dikutip pada Minggu (31/1/2021).

Baca Juga:  Waspadai Klaster Keluarga di Bandung, Oded: Jangan Ada Yang Kena

PPN dan PPh dalam industri telekomunikasi yang dimaksud adalah PP Nomor 28 Tahun 1988 yang ditegaskan dengan SE-48/PJ.31988 tentang Pengenaan PPN Jasa Telekomunikasi.

Dengan aturan itu, PPN atas jasa telekomunikasi yang kemudian sarana transmisinya berubah ke voucer pulsa dan pulsa elektrik telah dikenai pajak.

Baca Juga:  Soal Gaji, Ini Kesepakatan Manajemen Persib dan Pemain

“Jadi sesungguhnya tak perlu terjadi polemik dan kontroversi. Ini hal yang biasa, bahkan menguntungkan publik dan negara,” kata dia.

Dia menambahkan, kehadiran PMK 6/2021 ini intinya bakal memberi kepastian status pulsa sebagai barang kena pajak agar seragam karena kadang dipahami sebagai jasa.

Lalu kata dia, pemungutan disederhanakan hanya sampai dengan distributor besar, sehingga meringankan distributor biasa dan para pengecer pulsa.

“Jadi mustinya kebijakan ini disambut baik. PPN atas pulsa (jasa telekomunikasi) memang sudah lama terutang dan tak berubah, pedagang dipermudah, konsumen tdk dibebani pajak tambahan,” jelasnya.

Baca Juga:  Tinjau Lokasi Banjir Lahar Dingin, Ini Pesan Bupati Karo

Sementara itu, terkait dengan PPh Pasal 22, yang dikenakan 0,5 persen dirinya memberikan perumpamaan. Misalnya, PPh 0,5 persen ilustrasinya Rp500 perak dari voucer pulsa Rp100 ribu. Ini dipungut tapi bisa dijadikan pengurang pajak di akhir tahun, ibarat cicilan pajak.

“Bagi yang sudah WP UMKM dan punya Surat Keterangan, tinggal tunjukin dan tak perlu dipungut lagi. Adil dan setara bukan?” jelas dia. (Red)