Menengok Transpuan di Usia Lansia

Penulis: Dhea Amellia

Sore itu Thias pulang lebih awal dari biasanya, dengan segera ia langsung membuka gerbang, menyapu lantai, dan merapihkan meja di ruang kerjanya.

“Kebetulan banget, pas saya baru pulang dari proyek juga, ayo sini masuk,” sambut Thias kepada Jabarnews dengan ramah, Sabtu, 06 Februari 2021.

Ruang kerja Thias terlihat sedikit berantakan. Tidak ada komputer atau tumpukan map, yang ada hanya cermin, gunting, sisir, dan perlengkapan lain untuk perawatan rambut.

Thias merupakan pemilik salon dan penata rias. Namun, semenjak krisis moneter di akhir tahun 1990-an salonnya mulai sepi, apalagi ditambah hantaman pandemi Covid-19 setahun terakhir.

Dia bercerita, beberapa hari terakhir ia sibuk untuk membantu proyek pembangunan rumah sahabatnya. Bukan sebagai pekerja bangunan, ia diminta untuk mengawasi pekerja proyek sembari mencairkan suasana kerja lewat candaan khasnya.

Selain sebagai penata rias, Thias juga cukup populer sebagai pekerja serabutan. Ia kerap diminta beberapa warga di lingkungannya untuk membantu merapihkan taman, memperbaiki genteng, yang terbaru juga diminta membantu kelurahan untuk program gorong-gorong bersih (gober).

Thias sebenarnya punya pekerjaan yang lebih tetap, yakni mengelola salonnya yang sudah berdiri sejak akhir tahun 1980-an. Karena itu, selain dikenal aktif membantu masyarakat, dia juga sudah sejak lama terkenal sebagai penata rias.

“Di sini mah udah pernah semua, dari ujung ke ujung sudah hapal kesini, kadang-kadang mah dari luar Sarijadi,” ujarnya sambil memainkan telunjuk tangannya untuk mengarahkan dari timur hingga barat.

Meski kini usianya telah menginjak kepala enam, Thias masih sering mendapat panggilan untuk merias pengantin, juga beberapa untuk acara wisuda. Kiprahnya di bidang ini sudah ditekuninya sejak usia belasan tahun.

Dia menceritakan saat masih muda, Thias sempat bekerja untuk beberapa artis di Jakarta. Sekitar akhir tahun 1980-an hingga awal 1990-an, ia biasanya pulang pergi Jakarta-Bandung untuk bekerja sebagai penata rias.

Namun kondisinya kini mulai berubah, salonnya sekarang tidak sesibuk dulu. Sebagai gantinya, pekerjaan sampingan seperti yang disebutnya tadi, menjadi sebagai sumber penghasilannya yang baru.

“Sekarang mah sepi banget sih, kadang-kadang seminggu bisa lima pelanggan, jadi nyari kerjaan lain lumayan daripada nganggur,” imbuhnya.

Sementara upah sebagai tenaga serabutan juga tidak seberapa, biasanya ia diberi Rp100.000 atau lebih tiap kali diminta membantu pekerjaan tetangganya, namun itupun tidak menentu.

Saat ini Thias tinggal bersama saudara di rumah peninggalan orang tuanya. Meski masih cukup untuk kebutuhannya sehari-hari, Thias masih kerap dirundung perasaan bersalah kalau tidak memberikan uang jajan untuk keponakannya. Rutinitas yang dilakukannya sudah sejak lama.

Teddy, Berkeliling sebagai Pemangkas Rambut

Bergerak di bidang yang sama, Teddy berbagi kisahnya bergelut di dunia perawatan rambut. Semenjak pindah lokasi di kawasan gang dan berada di lantai dua, salonnya menjadi sepi tak seramai dulu.

Baca Juga:  Tak Bisa Bayar Utang, BUMN Ini Dinyatakan Bangkrut

“Sehari-hari potong rambut. Kalau di sini (di kontrakan) buka salon. Tapi sekarang sepi, jadi keliling,” ungkap Teddy.

Teddy biasanya berkeliling mulai pukul setengah 9 pagi sampai pukul 3 sore. Tegalega dan Alun-alun Bandung merupakan beberapa daerah yang sering dikunjungi. Sesekali ia berkeliling sampai ke Cicalengka sembari berkunjung ke keluarganya.

“Kadang-kadang ke Cicalengka di sana ada keponakan, ah sambil main sambil bawa alat-alat (potong rambut),” tutur Teddy sambil memperlihatkan tas berisikan perlengkapan untuk pangkas rambut.

Dalam sehari ia tidak mendapat penghasilan yang menentu. Kadang Rp50.000 sampai Rp100.000, tapi tak jarang pulang tanpa penghasilan sama sekali.

Sekali memangkas rambut Teddy menerima imbalan sekitar Rp10.000. Meski begitu, beberapa orang masih menawar sampai setengah harga.

“Kadang ada yang bercanda minta gratis, gini ya kalau gratis mah gak akan keliling, udah aja diam di rumah, pasti se RW pada datang.” curhatnya sembari melempar tawa.

Sebelum menjadi salon keliling, ia sempat membuka salon di dekat Mal Festival City Link bersama keponakannya. Namun, karena sebuah kecelakaan yang membuatnya dioperasi hingga koma, kini salon tersebut gulung tikar.

Dikatakan Teddy, salon yang saat ini berdiri di kontrakannya merupakan hasil menabung saat dulu bekerja menjadi pegawai di salah satu rumah makan ayam goreng.

“Sebelumnya buka salon sendiri. Setelah (rumah) dijual jadi pindah-pindah. Saya berhitung, sudah 10 kali pindah kontrakan,” imbuhnya sambil menghitung jari.

Di usianya yang sudah kepala enam, ia mengatakan, tidak ada pilihan pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

“Sekarang kalau gak keliling mau gimana lagi. Inginnya udah tua begini diam. Sekarang keliling juga kadang gak dapat uang,” tutur Teddy.

Meski kini tinggal sendiri, Teddy bercerita, dulu dia sempat menikah dan memiliki seorang anak. Teddy sesekali menerima kunjungan dari anak dan cucunya.

“Setahun sekali kadang suka ada datang main, kaya kalau lebaran gitu buat silaturahmi,” katanya.

Yanti, Pengamen yang Menyusuri Kota Bandung

Beda lagi dengan kisah Yanti. Di usianya yang sebentar lagi memasuki kepala enam, ia masih aktif menelusuri jalan-jalan di wilayah Bandung.

Menggendong speaker hitam kesayangannya, ia bernyanyi dari rumah ke rumah sebagai seorang pengamen. Pekerjaan ini sudah ditekuninya sejak dua puluh tahun terakhir.

“Lagunya kan enak-enak, terus diikutin (lpsync) sambil goyang-goyang, kan orang mau ngasih duit disuruh goyang dulu,” ujarnya sambil memutar beberapa lagu di speakernya.

Biasanya Yanti berangkat dari kosannya setelah adzan dzuhur berkumandang. Bersolek dulu dengan riasannya, baru kemudian menuju tempat transpuan pengamen biasa berkumpul.

Dari Jatinangor, Cimahi hingga Lembang sudah pernah ia datangi. Ia baru akan pulang saat hari mulai gelap. Sehari ia bisa mengantongi rata-rata Rp70.000 hingga Rp100.000, namun itu pun masih tak tentu.

Baca Juga:  Penulis Lafaz Allah Di Trotoar Diduga Gangguan Jiwa

“Kalau hujan mah boro-boro, kemarin hujan dua hari gak dapat duit, malah basah-basahan” keluhnya.

Bukan hanya bergelut dengan terik panas ataupun dinginnya hujan, Yanti punya masalah lain. Belum lama ini ia sempat tak bisa kerja selama hampir empat bulan, kakinya bengkak karena asam uratnya kambuh usai terjatuh.

Katanya, dulu penyakitnya itu sempat kambuh saat sedang ngamen keliling. Beruntung ia tak pernah pergi sendiri, ia terpaksa pulang lebih awal dengan berjalan setengah pincang. Untuk mengobatinya, harapannya hanya pada obat asam urat yang biasa dibeli di warung.

Belum lagi, saat berkeliling Yanti tidak jarang mendapat beragam perlakuan tidak menyenangkan.

“Kadang ada yang suka lempar tomat atau cabe busuk tapi nggak ke muka, ke belakang, tapi pas liat ke belakang (badan) nggak tau siapa kan di pasar orang mah banyak,” tambah Yanti.

Dengan penghasilan yang tak pasti, Yanti mengaku beruntung masih bisa tinggal dengan lingkungan yang menerima baik dirinya. Ia sesekali meminta bantuan kepada sang adik saat mengalami kesulitan.

“Dulu waktu sakit tinggal sama temen kan nggak diurus tiap hari sama mereka, cuman akumah tetep ke saudara, kadang minta buat ongkos.” ungkapnya.

Sebagian Transpuan Lansia Masih Ditolak Keluarga

Thias, Teddy, dan Mpok Yanti mungkin bisa dikatakan transpuan lansia yang beruntung. Di usainya yang sudah senja, mereka tetap berhubungan dan diterima secara baik oleh keluarganya. Sesekali meminta bantuan, atau mereka yang memberi bantuan ke saudaranya.

Berbeda dengan sebagian transpuan lansia lainnya. Farah, Ketua Srikandi Priangan, komunitas bagi transpuan di Kota Bandung yang berdiri sejak 1 Maret 2013, membagikan pengalamannya saat merawat Ghesti. Seorang transpuan lansia yang meninggal di kostannya setelah ditolak pulang oleh keluarga.

Saat itu, Ghesti dalam proses terapi penyembuhan AIDS. Namun karena tidak konsisten dalam mengonsumsi obat, dia mengalami toksoplasmosis, kondisi saat virus telah menyerang ke otak.

“Mungkin karena di kontrakan dulu udah diusir, akhirnya ikut di sini, ternyata di sini udah tergeletak, udah gak bisa apa-apa. Mau dibawa ke rumah sakit juga infusan apapun sudah gak masuk,” kata Farah, Senin, 1 Februari.

Selama dirawat di kontrakannya, Farah dan rekan transpuan yang lain bergantian mengurus dan memenuhi kebutuhan Ghesti. Dari memberi makan hingga mengganti popok.

Farah sempat menghubungi dan bertemu dengan keluarga Ghesti. Namun keluarga tidak mau menerima keberadaannya.

“Udah aja katanya diurus disini, karena aib buat keluarga sama masyarakat di situ,” imbuhnya.

Farah mengatakan, kondisi Ghesti kian memburuk pasca mendengar penolakan dari keluarganya. Kemudian Ghesti meninggal beberapa hari setelahnya.

“Pas udah meninggal besoknya dibawa kesana (rumah saudara) pakai angkot, ya lama kelamaan udah nerima, namanya juga orang udah meninggal,” tutur Farah.

Baca Juga:  Ramalan Zodiak Kesehatan 15 Juni 2022, Pemilik Rasi Bintang Aquarius dan Pisces

Farah mengungkapkan, beberapa transpuan lansia yang sudah lama di perantauan saat ingin pulang dalam keadaan sakit, terkadang keluarganya tidak mau menerima.

“Dikiranya disini tuh tempat singgah buat yang sakit. Karena saya ngurusin orang-orang ke puskesmas tes HIV atau apa, mungkin dikiranya kalau ada yang HIV gitu kita juga yang ngurusin. Padahal bukan, tapi kembali lagi ke keluarga,” ungkapnya.



Peran Penting Komunitas dan Keluarga


Mengamini pernyataan Farah, keberadaan komunitas ikut berperan penting mengurus transpuan lansia yang hidup jauh dari keluarganya, bahkan hingga mereka tutup usia.

“Dulu kita sampai beberapa kali mengantarkan jenazah ke Jawa, kemana-mana, terus ada yang dipulangkan ke rumahnya,” ungkap Luvhi, Ketua Srikandi Pasundan.

Srikandi pasundan merupakan LSM yang aktif mengadvokasi hak-hak komunitas transpuan di lingkungan masyarakat Jawa Barat dan sudah berdiri sejak 9 November 2004.

Lanjut Luvhi, beberapa tidak jarang kabur dari rumah saat masih remaja karena ditolak keluarga dan tidak pulang hingga meninggal. Kondisi makin memburuk karena beberapa justru tidak punya KTP, sehingga komunitas tidak tahu kemana harus memulangkannya.

Dalam beberapa bulan terakhir, Luvhi bersama pengurus Srikandi Pasundan terus aktif mendampingi pencatatan data kependudukan bagi transpuan.

Bagi transpuan perantau, biasanya mereka diminta untuk melampirkan surat pengantar dari pemerintah kampung halamannya, atau mengurus surat domisili dari RT/RW.

Transpuan lansia juga menjadi prioritas utama Srikandi Pasundan dalam penyaluran bantuan sembako. Seperti yang mereka bagikan belum lama ini, Yanti, Teddy, Thias dan beberapa lansia lainnya mendapat bantuan lebih awal ketimbang transpuan yang usianya lebih muda.

Jenis bantuan yang dibagikan juga dibuat khusus. Isi sembakonya kebanyakan gula, telur, sarden atau kornet, sementara yang muda umumnya diberi mie instan. Kemudian, jika yang muda biasa diberi beras 5 Kg, lansia biasanya dapat dua hingga tiga kali lebih banyak.

Meski begitu, sekalipun kehadiran komunitas vital mendampingi dan membantu mulai dari kebutuhan sehari-hari hingga layanan publik, keluarga tetap menjadi tempat terakhir saat lansia hingga meninggal.

“Makannya yang remaja pun kenapa kita arahkan harus pulang ke keluarga, karena kita sering mendapatkan kasus-kasus kaya gitu (jauh dari keluarga),” ujar Luvhi.

Thias, Teddy maupun Yanti, mungkin sedikit lebih beruntung di masa senjanya masih menjalin hubungan baik dengan keluarga. Meski begtiu, tidak sedikit juga transpuan lansia yang masih bergelut dengan masalah penolakan keluarga.

Bertahan hidup di tengah kota dengan pekerjaan yang tidak pasti, hingga menjemput ajal tanpa dampingan keluarga. Harusnya, di masa tua mereka bisa berkumpul dengan keluarga selayaknya lansia pada umumnya.

** Tulisan ini adalah bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia.