JABARNEWS | JAKARTA – Dewan Pers perlu membuat standarisasi media mainstream guna menjaga kualitas dan melawan informasi hoaks di tengah disrupsi media sosial yang menjadi gonjang-ganjing di negara-negara di dunia hingga saat ini.
Hal ini diutarakan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly dalam seminar virtual bertema “Regulasi Negara dalam Menjaga Keberlangsungan Media Mainstream di Era Disrupsi Medsos” bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat dalam rangka rangkaian Hari Pers Nasional (HPN) 2021, di Jakarta Kamis (4/2/2021)
“Media mainstream diharapkan tetap menjaga kualitas pemberitaan meski menghadapi tantangan teknologi di era disrupsi media sosial.Pemerintah akan terus mendukung Dewan Pers dan media mainstrem untuk mempertahankan kualitas,” pintanya yang menjadi Keynote Speaker di acara tersebut.
Terkait disrupsi media sosial, Yasonna menjelaskan hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tapi dunia tengah menghadapi gonjang-ganjing akibar disrupsi media sosial. Kehadiran media sosial menjadi hal yang sangat diperhatikan pemerintah.
“Dari jumlah total pengguna internet di Indonesia sebanyak 170 juta orang, diantaranya adalah pengguna media sosial. Pemerintah negara negara di dunia pusing mengelola medsos. Kami pernah bertemu antar pemimpin negara di Australia yang salah satunya membahas perkembangan medsos karena terkait terorisme,” ungkapnya.
Menkumham menyatakan pengguna medsos di Indonesia sangat dahsyat mempengaruhi masyarakat dan pemerintah harus berupaya menyiasatinya ke arah yang lebih baik. Jumlah penduduk sebanyak 270 juta jiwa dengan pengguna handphone sebesar 378 juta.
“Ini menunjukkan netizen Indonesia sangat besar dan dipastikan terus meningkat pada waktu mendatang, terlebih karena pandemi. Angka angka tadi menghasilkan keuntungan tapi bisa pula melahirkan kerugian seperti yang terjadi dialami media mainstream,” tukasnya.
Terkait disrupsi media sosial yang mengancam media mainstream, Yasonna menganggap internet bisa memberi keuntungan tapi sekaligus ancaman kebangkrutan. Hal ini pun perlu menjadi perhatian.
Tidak hanya media tapi publik juga melihat pasar-pasar, dan market tradisional mengalami disrupsi yang perlu disikapi.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum PWI Pusat, Atal S. Depari mengakui, bahwa tekanan disrupsi media sosial terhadap media mainstream terasa semakin kuat. Disrupsi ini muncul dengan semakin cepatnya
penetrasi bisnis mereka melalui mesin pencari dan situs e-commerce yang memberi guncangan sangat besar pada media mainstream.
“Di tengah krisis karena pandemi ini, kehadiran disrupsi media social membuat media mainstream semakin terpukul. Jika keadaan ekonomi ini berlanjut saya tidak membayangkan apakah masih ada kemampuan media untuk hidup lebih lama,” jelasnya.
“Salah satu bisa kita harapkan untuk menjadi penolong media ialah kerjasama yang diatur misalnya dengan google dan facebook. Perlu dirumuskan aturan main yg transparan adil dan menjamin keseteraaan antara platform digital dan media mainstream. Diperlukan regulasi untuk koeksistensi antara media lama dan baru yang saling membutuhkan,” papar Atal. (Red)