JABARNEWS | JAKARTA – DPP Projo mengajak seluruh komponen bangsa untuk kembali mengikhtiarkan diri kepada Pancasila sebagai pedoman, leitstar, ide penuntun, yang akan memperkukuh fondasi dan peradaban sebagai bangsa yang besar dan berdaulat.
“Dengan berpedoman pada Pancasila, Projo sekaligus peradaban kemanusiaan, karena dalam keragaman, kita secara bersama-sama bisa memajukan kehidupan rakyat menuju masyarakat yang maju, adil, makmur, sejahtera, dan berkepribadian,” ujar Budi Arie Setiadi Ketua Umum DPP Projo, dalam keterangan resminya, Selasa (1/6/2021).
Dikataknanya, dalam beberapa waktu terakhir ini, upaya untuk merubuhkan ke-Indonesia-an sontak hadir kembali di depan mata. Gerakan terorisme berupaya untuk membuyarkan apa yang sudah dibangun susah-payah oleh para pendiri bangsa.
“Serangan bom bunuh diri gerakan terorisme beberapa waktu lalu di Makassar mengejutkan dan menyentak nurani dan kesadaran kita. Kita terkesiap, lengah, dan terhenyak. Indonesia yang berbeda tapi satu: Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan dan keragaman kita semua dipayungi sekaligus didasari oleh Pancasila. Sebuah ikatan yang menyatukan kita semua. Sebuah kemestian bagi kemajemukan kita dalam berbangsa, ” ujarnya.
Dijelakskannya, frasa “Bhinneka Tunggal Ika” terpampang di bagian bawah lambang negara Burung Garuda (Pancasila). Arti umumnya adalah “berbeda tetapi satu”, sebagaimana secara terus-menerus pengetahuan mengenai pengertian ini diturunkan semenjak duduk di bangku sekolah dasar.
“Berbeda tetapi satu adalah wajah Indonesia sebagai suatu bangsa. Berbeda dalam hal berbahasa, budaya, kebangsaan, agama, kepercayaan, berpakaian, berperilaku, dan lain sebagainya.
Keterbedaan inilah yang oleh Bung Karno dinilai sebagai sesuatu yang terberi saat ikatan negara-bangsa Indonesia diproklamirkan. Keterbedaan ini merupakan mutiara yang memperkokoh ikatan kebangsaan dalam satu negara.
“Jadi kata “Bhinneka”, merupakan simbolisasi penanda sifat mejamuk yang menjadi keseluruhan konstruksi negara-bangsa Indonesia,” ujar budi dalam keterangannya
Maka, kebangsaan Indonesia sekarang ini adalah benar-benar didasarkan pada suatu rumusan politik yang sedemikian rupa sebagai rasa senasib dan sepenanggungan dalam sejarah.
Jadi pertanggungjawaban tertinggi atas sejauh mana dan sedalam apa warga “meng-Indonesia” atau tidak, bergantung pada rasa solidaritasnya dan keterlibatannya dalam perasaan tersebut.
Bung Karno dan para pendiri bangsa lainnya, kemudian memberikan sebuah pengukuhan terhadap dasar identitas nasional yang terbentuk itu dengan memancangkan sebuah prinsip politik yang melengkapi rasa kebangsaan: yakni Pancasila.
Dengan demikian, Sukarno meletakkan Pancasila sebagai semacam perspektif, yakni cara kita melihat dan memandang dunia. Sebagai perspektif, maka Pancasila berfungsi secara positif yakni memberikan instrumen untuk memahami realitas, semacam obor penerang atau peta yang memberi arah dan orientasi, semacam jendela di mana dari bidangnya yang terbatas kita mampu menjangkau cakrawala atau horizon yang jauh lebih luas.
Dengan menyebut Pancasila sebagai falsafah dasar, maka Bung Karno sekaligus hendak meletakkan Pancasila tidak hanya sebagai nilai-nilai yang memberikan orientasi tetapi juga pijakan untuk memandang dan mentransformasi dunia luar.
“Bhinneka” adalah rujukan dalam sistem pembeda antara satu bangsa dengan yang lain. Tetapi juga dirujuk bagi keterbedaan lainnya, baik agama, gender, budaya dan lainnya. “Bhinneka” bukan lagi semata-mata penanda rujukan bagi keterbedaan (suku) bangsa, melainkan keseluruhan tatanan sosial-budaya. Dalam keterbedaan inilah Indonesia sebagai bangsa hidup dan berkembang. Di sinilah Pancasila menjadi payung yang menjamin bahwa keterbedaan itu merupakan sesuatu yang tidak bisa ditolak, sekaligus juga menjadi pondasi tata kehidupan masyarakat-bangsa sehingga bukan pula menjadi sesuatu yang harus diseragamkan.
Pancasila adalah payung yang “satu” untuk mengayomi yang “beragam” atau yang bhinneka. Bhinneka ini adalah representasi dari wajah negara-bangsa yang didasarkan pada sejumlah perbedaan tata-sosial dan kultural. Pancasila merupakan titik temu dari keterbedaan dan keragaman ini. Titik temu yang memayungi dan memberi pijakan, bukan titik temu yang mensub-ordinasi.
Relasi sub-ordinasi bukanlah relasi yang ditampilkan oleh bhinneka dan Pancasila, melainkan relasi yang mutualis, yang saling memperkaya, bukan saling meniadakan yang lain. Gerakan terorisme yang banyak muncul justru bertentangan dengan prinsip bhinneka. Yang ada adalah bahwa yang lain harus disingkirkan, demi yang satu.
“Ke-Indonesia-an” adalah keterbedaan. Klaim moral, identitas primordialisme tidak boleh mengurangi perbedaan ini. “Ke-Indonesiaan” dan “Ke-bhinekaan” adalah dua soal yang tak terpisahkan. Keduanya ada karena satu dengan lainnya. Logika identitas menyempitkan ruang-ruang ini, bahkan kerap berupaya meruntuhkan dinding-dinding pembatasnya. “Ke-Indonesiaan” dipancangkan dengan dua pondasi, yakni Pancasila dan Bhinneka.
Jadi Bhinneka bukanlah mantra, tetapi lebih merupakan state of being dari tatanan sosial dalam negara-bangsa Indonesia. Bhinneka diciptakan dari keterbedaan yang terbentuk dan ada, dan beroperasi dalam konstruksi diskursus mengenai Indonesia. Bhinneka bukan indikator moralitas, melainkan variabel dalam demokrasi.
“Ke-Bhinneka-an” dalam “Ke-Indonesia-an” yang didasari oleh Pancasila dan dijaga oleh UUD 1945. Penolakan terhadap “Ke-bhinneka-an” berarti penolakan terhadap “Ke-Indonesia-an”, dan berarti pula penolakan terhadap Pancasila dan konstitusi.
Dalam kerangka itu kita meletakkan Pancasila. Sebagai gagasan rujukan dalam membangun politik kebangsaan dan kewargaan kita. Pancasila menjaga nilai-nilai publik sebagai wadah bersama yang menampung keberagaman. Pancasila adalah pedoman untuk menuntun yang “beragam” atau yang bhinneka.
Bhinneka ini adalah representasi dari wajah negara-bangsa yang didasarkan pada keragaman dan perbedaan politik, sosial dan budaya. Pancasila merupakan titik-temu dari perbedaan dan keberagaman. Titik temu yang memayungi, bukan menyubordinasi. Relasi subordinasi bukanlah relasi yang ditampilkan oleh prinsip Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila, melainkan relasi mutualisme, yang saling memperkaya, bukan saling meniadakan. (Red)