Jaga Jarak Susah Diterapkan, Ini Strategi yang Harus Dilakukan

JABARNEWS | BANDUNG – Pemerintah terus menggencarkan perilaku 3M yaitu memakai masker, menjaga jarak dan menghindari kerumunan, serta mencuci tangan dengan sabun untuk mencegah persebaran Covid-19 di masyarakat. Setelah berjalan selama beberapa bulan, rupanya perilaku menjaga jarak masih sulit dilakukan oleh masyarakat.

“Kita memang mengerucutkan perilaku itu adalah kepada disiplin penerapan 3M, yang mana urutannya adalah menggunakan masker, menjaga jarak dan hindari kerumunan, serta mencuci tangan menggunakan sabun. Tadinya kan mencuci tangan itu di urutan kedua. Sekarang diputar menjadi urutan ketiga, yang jaga jarak itu jadi urutan kedua karena memang jaga jarak ini hal yang sulit ya untuk diterapkan,” kata Kasubbid Sosialisasi Bidang Perubahan Perilaku Satgas Covid-19, Dwi Listyawardani, melalui diskusi virtual, Jumat (6/11/2020).

Baca Juga:  Catatan Kasus Kecelakaan Kerja di Jabar, Tahun 2021 Menurun?

Dwi mengatakan, bahwa Covid-19 merupakan persoalan yang sangat ditentukan oleh jaga jarak antara satu orang dengan orang lain yang kemudian jika dilanggar dapat menyebabkan penularan. Dwi juga mendapati beberapa kader yang bertugas mensosialisasikan 3M sering mengeluhkan persoalan jaga jarak dan berkumpul di masyarakat. Oleh karena itu, harus ada strategi dalam mensosialisasikan atau mengomunikasikan terkait perilaku 3M kepada masyarakat.

“Langkah pertama tentunya kita harus melihat bagaimana kita melakukan ini secara terstruktur dan berkelanjutan. Jadi enggak bisa hanya sekali kemudian didiamkan. Kita harus ada pemeliharaannya,” imbuhnya.

Baca Juga:  Pengamanan Pilkada, TNI Purwakarta Kembangkan Gerakan Subuh Berjamaah

Selain itu, Dwi juga menyampaikan pentingnya untuk bermitra dengan berbagai pihak guna mensosialisasikan 3M ini.

“Bermitra. Kita enggak mungkin melakukan itu sendiri, kita harus bergandeng tangan dengan berbagai pihak. Kemudian juga memperkuat komunikasi massa. Oleh karena itu peran dari media massa dalam berbagai bentuk ini sangat penting untuk memelihara keberlanjutan, mengingatkan secara terus menerus,” ujar dia.

Langkah lain untuk dapat mengubah perilaku masyarakat di tengah pandemi adalah dengan melibatkan komunitas dan tokoh-tokoh masyarakat. Hal ini penting karena kebanyakan masyarakat Indonesia masih sangat percaya dan mendengarkan tokoh-tokoh masyarakat. Oleh karena itu jika tokoh masyarakat memiliki kontra dengan pemerintah terkait Covid-19, maka akan menjadi suatu persoalan.

Baca Juga:  Begini Strategi Menparekraf Sandiaga Uno Gairahkan Kembali Industri Kreatif

Dwi mengatakan dari survei yang ada, sekitar 17-20% masyarakat masih percaya bahwa COVID-19 itu nyata. Dan tidak menutup kemungkinan ada juga orang yang percaya namun tidak sepenuhnya.

“Oleh karena itu tentunya proses awal, kita harus memberikan informasi yang benar tentang apa itu Covid-19 kemudian tentunya akan terbentuk sebuah opini yang positif, sesuai dengan apa yang kita harapkan baik di level individu, maupun kelompok, keluarga, dan institusi,” tandasnya. (Red)