Tolak RUU HIP, Banom NU: Tidak Memiliki Urgensinya

JABARNEWS | JAKARTA – Keberadaan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) mendapat sorotan tajam dari berbagai elemen masyarakat termasuk Badan Otonom (Banom) Nahdlatul Ulama (NU), GP Ansor tidak sepakat dan minta agar RUU tersebut dibatalkan.

Ketua Umum Pimpinan GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas, mengatakan RUU ini belum mencantumkan secara jelas Ketetapan (Tap) MPRS XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Yakni pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah NKRI bagi PKI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme,” ujarnya dalam keterang pers, Kamis (14/06/2020).

Ia menilai, konsideran RUU HIP tidak menyertakan Perppu No 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang menjadi landasan hukum pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan atau ideologi transnasional.

Hal yang sama dilakukan Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU Rumadi Ahmad. Dia berpendapat Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) tidak memiliki urgensinya.

Baca Juga:  Belum Ditemukan di Indonesia, Begini Langkah Polri Cegah Masuknya Narkoba Zombie

“Setelah membaca Naskah Akademik (NA) dan draf RUU HIP yang beredar, saya tidak melihat urgensi RUU ini,” katanya

Menurut dosen Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, sejumlah masalah yang dijadikan argumentasi RUU HIP ini kurang valid. Karena itu tentunya bukan RUU HIP yang menjadi jawabannya.

“Misalnya, dalam naskah akademik RUU HIP disebutkan adanya masalah pengambilan kebijakan penyelenggara negara masih berjalan sendiri-sendiri antar lembaga. Tanpa adanya pedoman dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap pengambilan keputusan,” ungkapnya.

Sementara, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) M Kholid Syeirazi menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) memicu penafsiran tunggal Pancasila seperti terjadi pada masa Orde Baru. Karena itu, menurutnya, RUU itu tidak cocok untuk semangat dan dinamika kehidupan berbangsa saat ini. “Menurut saya gak perlu RUU HIP,” katanya

Menurutnya, Pancasila sebagai ideologi prinsip tidak perlu penafsiran baku seperti Orba. Pancasila juga tidak perlu pelembagaan. Konsep baku ini, katanya, memicu tafsir tunggal dari pemerintah sehingga menutup penafsiran dari elemen lain yang sangat dibutuhkan dalam proses pematangan sebuah bangsa.

Baca Juga:  Malam Tahun Baru, Wali Kota Bandung Ajak Warga Bermuhasabah

“Yang dibutuhkan adalah penerjemahan Pancasila ke dalam ideologi kerja,” tegasnya. “Kita lebih butuh UU Sistem Perekonomian Nasional yang merupakan penjelmaan Pancasila sebagai ideologi kerja daripada kelembagaan ideologisasi Pancasila,” tambahnya.

UU ekonomi yang memiliki semangat dari Pancasila, yaitu sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebelumnya, Mantan Wakil Ketua Umum PBNU KH As’ad Said Ali melalui laman Facebooknya mengingatkan umat Islam, terutama kalangan internal Nahdlatul Ulama (NU) untuk meningkatkan kewaspdaan dan mencermati perkembangan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP).

Menurut pria yang juga mantan Waka BIN itu, dalam RUU HIP itu tidak dimasukkan Ketetapan (Tap) MPRS No.XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia. Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah NKRI Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atas Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme dalam RUU HIP itu.

Baca Juga:  Nasib Tenaga Honorer Usai RUU PNS Disahkan, Menpan-RB; Kita Amankan Dulu

Berikut postingan lengkap As’ad Said Ali: “Sore tadi saya dikirimi oleh KH Mashuri Malik, draft RUU HIP dan saya sudah baca dua kali. Atas dasar itu, untuk sementara saya memberi beberapa catatan. Pertama: tidak dicantumkan TAP MPRS no 20 th 1966, tentang pembubaran dan pelarangan PKI ( Partai Komunis Indonesia.).

Kedua: dalam bab pokok pikiran , dicantumkan ; Agama, Rohani, dan Budaya dalam satu baris. Hal ini mencerminkan pandangan sekularisme yang berlawanan dengan sila pertama Ketuhanan YME. Ketiga: dua butir di atas cukup bagi saya untuk mengambil kesimpulan, maksud baik membuat Haluan Ideologi Pancasila telah dinodai oleh dendam eks PKI.

“Pendapat ini saya tujukan pada kalangan internal Nahdlatul Ulama untuk bersama sama mencermati. Sejarah tidak boleh terulang ketiga kalinya. Cukuup. Lebih baik DPR fokus menangani ancaman Corona,” pungkas Kiai Asad. (Red)